Thursday, December 17, 2009

(15) Little Miss Ego


Bunyi dering telepon internal menjelang pukul 12 siang membuyarkan konsentrasi Kelana yang tengah meng-input beberapa data ke dalam file report-nya. Dengan pandangan tetap mengarah ke LCD monitor di depannya, Kelana mengangkat gagang telepon dengan jemari kirinya.

"Lana..." sapanya seperti biasa. Datar, tanpa ekspresi, karena musti berjuang meneliti kode-kode client yang musti dimasukkannya ke dalam data base. Kebiasaan Kelana kalau sedang berkutat dengan laporannya, dia bakal jadi makhluk yang super cuek dan mendadak budeg.

"Lan, ini Emma." Suara Emma di ujung satunya.

"Ya, Em? Kenapa?" tanya Kelana, masih dengan mata melotot ke arah layar komputer. Sesekali, jemari kanannya menekan beberapa tombol angka, enter, dan space bar, lalu menggerak-gerakkan mouse di atas mouse pad bergambar Candy Candy, tokoh kartun favoritnya.

"Ntar makan siang di mana? Gue pingin nyoba bakso bakar yang di deket sekolah itu, lho, Lan... Yang kata Fira enak banget... Kapan hari dia kesana sana temen-temen Accounting..."

Kelana tidak menjawab. Dia malah sibuk mengerjakan laporannya dengan kedua tangan yang jari-jemarinya nampak sibuk di atas keyboard. Gagang telepon itu ditempelkan di telinga-nya dengan sanggahan bahu kirinya.

"Lanaa? Elo budeg???" Emma mulai gemas. Suara Emma yang super sonic -- sampai-sampai kelelawar pun terganggu -- membuat Kelana langsung tergagap kaget dan minta maaf. "Sorry, sorry... gue lagi konsen ke laporan gue, nih, Em.. Maaf, yaa... Gue tadi sempet blank gitu nggak dengerin suara elo..."

"Iya, iya. It's okay. Gue khawatir aja elo budeg beneran.. Mana boleh reimburse tuh?" kata Emma sambil terkikik geli mendengarkan leluconnya sendiri. Kelana hanya tersenyum. Amit-amit deh, kalau sampai budeg beneran. Cakep nggak seberapa, tapi budegnya akut. Duh, nggak ada keren-kerennya sama sekali! "Jadi gimana? Kita berangkat jam 12 kurang, ya? Biar nyampe sana sebelum jam makan siang..."

"Kemana?"

"Bakso Bakar, Sayaaannggg..."

"Di?"

"Deket sekolahan..." Emma geleng-geleng kepala. "Emang, ya. Beda tipis banget antara elo budeg sama o'on, Darling.."

Kelana ngikik geli. Dia bisa membayangkan wajah Emma yang pasti kesal dengan ke-o'on-annya barusan. Cewek cantik yang priyayi itu pasti bakal mengelus dada dan kalau memungkinkan, akan membaca Istighfar dengan menggunakan biji tasbih sekalian.

"Maaf, maaf... Tadi elo mau ngajak makan ke Bakso Bakar di sekolahan?"

”He-eh. Berangkat jam dua belas kurang, ya?"

"Ummm... kayaknya..."

"Apa? Nggak bisa lagi?"

"Iya, Beib.. Laporan gue belom selesai... Jam dua ini musti gue submit ke Pak Donny, soalnya gue musti keluar market sama Fira..."

"Hmmm..."

"Lo makan sama Indra, deh," kata Kelana mencoba untuk memberikan pilihan.

"Laki gue lagi males makan bakso bakar, Lan... Lagian, dia, kan, lebih demen ngadem di mushola daripada keluar kantor siang-siang.. You know him, lah, Lan..."

"Ya, udah. Lo temenin di mushola, gih. Ngadem bareng sana.. siapa tau bisa dapet kesempatan ngapain gituh..."

"Astagfirullah, Tuhan tobat!" Emma berteriak histeris. "Gila, looo... Mushola dipake mesum..."

"Lho, maksud gue dapet kesempatan sholat bareng gituh... Nggak usah melotot, dong..." Kelana tersenyum. Dia sukses bikin Emma terbelalak lagi. Hore! Kalau dapat lima ratus Rupiah setiap bikin Emma terkaget-kaget dan terbelalak begini, dia pasti sudah kaya raya hari ini.

"Najong, lo, Lan!" kata Emma. "Jadi, elo nggak bisa temenin gue makan siang lagi, nih?"

"Sorry, Em.. No can do, deh."

"Atau besok?"

"Kita liat aja, ya? Kayaknya besok gue nggak ada rencana kemana-mana, deh..."

"Ya, udah. Besok aja, yah? Gue udah ngildam banget, nih..."

"Sip!"

"Bye, Lan!"

Hubungan telepon itu terputus setelah terdengar Emma meletakkan gagang teleponnya. Kelana kembali melanjutkan pekerjaannya yang membutuhkan konsentrasi tinggi -- perut lapar, ditunggu deadline, dan mulut cerewet Fira dari balik kubikel sebelah jelas bukan kombinasi yang menyenangkan untuk siang ini. Dia mulai asyik memerhatikan buliran angka-angka di layar, mengkroscek data di lembaran kertas yang ada di dalam binder note warna hijau tuanya, lalu mengetikkan sesuatu di layar komputernya.

Ketika sedang berkonsentrasi tinggi itu, tiba-tiba muncul sebuah icon amplop di sudut kanan bawah LCD monitornya, tanda kalau ada email baru yang masuk ke dalam inbox surat elektroniknya. Yang membuatnya segera meng-klik icon tersebut adalah nama Donny Prasetya yang artinya, email tersebut dari lelaki pujaan hatinya.

Sambil mesam-mesem, Kelana membuka email dari Pak Donny. Apapun isi emailnya, asalkan berasal dari lelaki satu itu, selalu bisa bikin Kelana deg-degan. Mau isinya tentang meminta laporan bulanan, kek, atau report setelah market, kek, yang penting email-nya dari Pak Donny. Titik.

Saat mengklik email dan membaca isinya, Kelana makin tersipu-sipu. Pipinya bersemu merah dan pikirannya mulai melayang-layang sambil membayangkan wajah Pak Donny yang ganteng mandraguna.

Cantik,

Makan siang, yuk?

Aku tunggu di mobil, ya.

Aku parkir di basement, seperti biasa.

Lima menit lagi aku turun,

Bagaimana Kelana nggak sumringah, coba? Pertama, he called her: CANTIK. Dan kedua, makan siang dengan lelaki yang sumpah mati kegantengannya beda tipis dengan kegantengan George Clooney. Kalau Kelana tidak sumringah, artinya cuman satu: dia sudah menjadi lesbian sejati, sementara tidak hanya Tuhan dan Malaikat-Malaikat saja yang tahu kalau Kelana adalah pecinta lelaki nomor dua, setelah Sasya.

Tanpa berpikir panjang, Kelana membalas emailnya dengan jawaban yang singkat.

Ok. See you there.

Usai membalas, Kelana pun menyimpan rapi kertas-kertas berisi data client dan laporan market bulan kemarin, menyusunnya kembali ke dalam binder, dan menyimpannya dalam lemari kecil di dekat kaki kirinya. Setelah itu, dia mematikan komputer, sekaligus layar monitornya dan tombol mini speaker yang berdiri di sisi kiri dan kanan monitor.

Berikutnya, dia mengeluarkan tas kecil berisi bedak, lipstick, dan sisir kecil dari dalam tasnya lalu mulai men-touch up dandanan dan menyisir rambut ikalnya. Setelah nampak cantik, dia menyemprotkan parfum beraroma manis yang ada di dalam botol-botol kecil yang berjajar-jajar di dalam laci mejanya lalu mulai beranjak dari kursi.

Fira yang melihat Kelana berdiri dari kursi langsung bertanya, "Mau kemana, Lan? Kok udah cakep, sih?" tanyanya heran.

"Umm... Gue diajak keluar sama Pak Donny, nih."

"Ow.. terus, terus, ntar siang jadi, kan? Jam dua, kan?"

"Umm.... gini, gini, deh," kata Kelana. "Gue takutnya bakal lama makan siang sama Pak Donny. Gimana kalo elo berangkat sendiri aja? Besok gue juga sendiri. How?"

Fira nampak kecewa.

"Aduh, maaf, Fir... Maaaff.. Lo kan tau, yang ngajak pergi tuh boss kita.. Pak Donny.. Mana bisa gue maksain minta pulang, sih?" kata Kelana, beralasan. Padahal sebetulnya bisa saja dia bilang dengan lelaki ganteng itu kalau dia sudah ada janji dengan Fira nanti siang. Tapi, hey... Keluar market dengan perempuan bawel seperti Fira dan keluar makan siang sampai waktu yang tak terbatas dengan lelaki baik dan ganteng seperti Pak Donny, jelas nggak sebanding, kan?

"Ya, udah, deh... Besok gue jaga kantor aja... Elo yang beredar, yah?"

Kelana tersenyum. "He eh. Gue berangkat dulu, yah..." Ketika Kelana berjalan beberapa langkah, dia kemudian teringat sesuatu dan kembali ke kubikel Fira lalu berbisik di dekatnya. "Eh, tapi, Fir.. Ntar kalau Emma nanya gue ada di mana, bilang aja elo nggak tahu gue kemana, ya?"

"Idih. Gue udah calon penghuni neraka begini, elo malah semakin nambah-nambahin dosa gue ajah..."

Kelana tertawa. "Thanks, ya, Say... See you..." Gadis berambut ikal itu berjalan ke luar kantor dan memilih jalan memutar supaya tidak melewati Emma. Sebetulnya, dia memang nggak ingin cari perkara dengan teman baiknya itu, karena biarpun seperti priyayi tulen, tetap saja Emma bisa berubah menjadi anjing galak yang gigi-giginya belum dikikir sehingga runcing tajam. Cuman, yah... Ini soal Pak Donny. Dan bicara soal Pak Donny, artinya bicara soal masa depan. Iya.Masa depan seorang Kelana Lesmana Dewi. Perempuan yang selalu bermimpi untuk menjadi istri seorang lelaki setampan dan sepintar Pak Donny, sekaligus mewarisi bisnis tujuh turunan dari keluarganya...

Materialistis? Ah. Ini realistis!

Dan karena urusan realistis itulah, Kelana harus rela mengendap-endap bagai maling supaya Emma tidak mengetahui kepergiannya...

**

Dunia memang seolah menjadi sepetak kamar kos ketika seorang perempuan sedang jatuh cinta. Tidak ada penghuni lain yang tinggal di sana kecuali sepasang love birds yang terbang kemana-mana berdua, hampir setiap hari. Mulai dari makan siang, pulang kantor bareng yang dilanjutkan dengan makan malam, dan seringkali Pak Donny mengajak Kelana untuk hunting restoran-restoran baru. Siapa yang tidak senang melewatkan waktu dengan lelaki yang telah mengisi mimpi-mimpinya setiap malam sejak tiga tahun yang lalu? Kecuali sudah mulai frigid, tidak ada perempuan di manapun yang akan biasa-biasa saja jika waktunya habis bersama dengan lelaki yang dia puja, kan? Perempuan manapun akan merasa head over heels seperti Kelana kalau lelaki yang mereka puja lebih memilih menghabiskan waktu bersamanya. Nothing compares him. Not a thing. Not a single thing.

Termasuk seorang sahabat, seperti Sasya.

But, it’s our Fridays… FRIDAYS, Lan…” keluh Sasya di telepon ketika lagi-lagi Kelana menolak ajakan Sasya untuk ngopi bareng di kedai kopi sebuah mal dekat kantor, tempat mereka biasa menghabiskan hari Jumat malam mereka.

I know, I know… I’m sorry… tapi…”

“…tapi si Ganteng itu ngajakin elo nonton lagi, kan? Film apa sekarang? Tuyul Nyolong Ketimun?” kata Sasya kesal.

“Heiii… kenapa musti marah, sih? Pak Donny, kan, sudah beli tiketnya sejak tadi siang… Lagipula dia ngajak gue duluan, kok.. Sebelum elo telepon, pagi tadi dia udah bilang…”

“Iya, gue tahu, gue emang baru telepon elo sekarang…”

“Nah, itu dia elo tau…”

“Tapi, Lan,” sergah Sasya. “Sejak kapan gue musti bikin appointment dulu untuk ketemuan sama sahabat gue sendiri di hari Jumat, saat biasanya, tanpa perlu janjian, kita sudah nongol di kedai kopi langganan?”

Kelana terdiam.

“Lan? Gue tanya sama elo. Sejak kapan?”

Kelana masih terdiam.

“Lo diem karena elo ngerasa bersalah atau elo sedang nyari kata-kata untuk membela diri?”

Kini Kelana menghela nafasnya lalu mulai membuka mulutnya.

Do you have any idea what you’re talking about?”

“Hah?”

Do you know that every single word came out of your mouth is painful?”

“Maksud lo apa, Lan?”

“Gue, perempuan umur 29 tahun. Belum pernah punya pacar selain seorang Evan; sahabat lelaki yang akhirnya kawin sama perempuan lain padahal gue cinta setengah mati sama dia. Gue nggak pernah deket sama cowok seperti elo yang gampang bergaul sama cowok-cowok yang kita temuin di kedai kopi, di resto, di tempat dugem… any where…”

“Lan, you’re overreacted…”

Nope. I’m not done,” kata Kelana. “Bisa elo bayangin, kan, jadi perempuan seperti gue? Bisa bayangin, nggak, sih, betapa gue seneng banget karena akhirnya ada cowok yang gue suka banget kini mulai pendekatan sama gue? Mulai ngajak gue makan siang, makan malam, jalan, nonton?”

“Lan..”

“Sas, please try to understand my position, here,” kata Kelana dengan bibir bergetar. Dia menahan air matanya agar tidak tumpah. “For the very first time, gue ngerasa jadi perempuan seperti elo. Perempuan cantik yang dikagumi oleh seorang laki-laki, which I’ve never felt this way before. Gue pingin menikmati ini dulu, Sas… Please?”

Sasya tahu, apapun yang keluar dari mulutnya, apalagi yang bertentangan dengan keinginan hati Kelana akan memancing pertengkaran tidak penting lainnya. Sebetulnya, tujuannya menelepon kantor Kelana adalah untuk mengajaknya hang out di kedai kopi seperti biasanya, seperti kebiasaan mereka selama hampir tiga tahun ini, dan bukannya untuk mengajak Kelana berdebat lalu saling menuding bahwa salah satu dari mereka adalah terdakwa yang pantas mengakui kesalahannya. Debat kusir tidak akan membawa mereka kemana-mana selain merasa exhausted, capek, sinting sendiri karena telah membuang-buang energi dengan percuma. Itulah kenapa, Sasya memilih untuk mengakhiri percakapan mereka.

“Ya, Lan. You’re right. Gue musti tahu diri kalau sekarang elo sudah punya pacar…”

He’s not my Boyfriend, Sas…”

“Tapi bakal jadi pacar, kan?”

Kelana tersenyum. “Semoga…”

Sasya menghela nafas lalu mencoba untuk tersenyum dan berharap semoga suaranya di telepon mewakili senyum di wajahnya.

I’m sorry that I’m being selfish…” kata Sasya beberapa saat sebelum meletakkan gagang telepon.

Ketika percakapan itu berhenti, Kelana masih terduduk di dalam kubikelnya, menatap layar monitor yang penuh dengan screen saver berbentuk ikan-ikan yang berenang di dalam akuarium, lalu mengetukkan buku-buku jarinya di meja kerjanya yang berbahan kayu berpelitur.

Sebuah perasaan menyelinap masuk tanpa permisi dan membuat Kelana tak beranjak dari kursinya lalu memilih untuk memandangi pernak-pernik di atas meja kantornya.

Have I done something wrong?

Am I overreacted?

Am I the one who’s being so selfish?

Tapi salahkah kalau Kelana bahagia? Setelah sekian lama hidupnya dihabiskan untuk mencemburui Emma yang kerap menghabiskan waktunya dengan Indra sementara dia ada di dalam kamar kost sambil menghitung berapa cicak yang sliweran di dinding kamarnya? Dan setelah sekian lama dia menganggap dirinya tidak semenarik Sasya yang mudah menjadi pusat perhatian setiap mereka sedang hang out di klub, café, atau kedai kopi, apakah salah kalau akhirnya dia merasa sangat senang karena Pak Donny telah membuatnya menjadi perempuan yang paling cantik?

Lelaki setampan dia, lelaki dengan pekerjaan sehebat dia, lelaki yang tutur katanya lembut dan berperilaku sopan seperti Pak Donny memilih untuk menghabiskan waktunya dengan seorang perempuan biasa seperti Kelana. Apakah Kelana salah kalau akhirnya dia merasa sangat bahagia karenanya?

Lalu pertanyaan itu muncul lagi di dalam kepalanya.

Am I the one who’s being so selfish?

Beberapa detik berikutnya, otaknya mulai memroses dan mencerna seluruh kata-kata tadi.

Am I?

Dan sedetik berikutnya, seperti mencetak laporan di mesin print, sebuah jawaban keluar dan ia membaca hasilnya.

Tidak. Dia tidak sedang egois.

Dia hanya sedang…

Um.. jatuh cinta.

**

Dan tahukah kamu apa yang terjadi ketika seorang perempuan sedang jatuh cinta? Hm. Tidak ada, semenitpun, waktu terlewatkan tanpa bercerita tentang lelaki pujaan hatinya. Nope. Nama lelaki itu seolah menempel di lidah seorang perempuan dan membuatnya selalu mengucapkan namanya keras-keras.

Di setiap percakapan.

Di setiap suasana.

Di manapun.

Bersama siapapun. No exception.

Ketika Kelana sedang menunggu client di lobi sebuah hotel dengan Emma, tak henti-hentinya Kelana bercerita soal Pak Donny padanya.

“Lo tau nggak, sih, Em, kalau Pak Donny, tuh, sering banget ke hotel ini cuman untuk sarapan? Tau nggak kenapa? Karena di rumah masakannya lagi nggak enak…”

“Eh, kata Pak Donny, dia juga sering nge-gym di sini. Dia pernah ngajak gue juga, sih, tapi gue malu ah, pake baju ketat-ketat gitu deket Pak Donny.. Lemak gue, Buu.. Bleber kemana-mana…”

“Oh, ya. Pak Donny, tuh, paling suka sama kopi di sini. Itu tuh, yang di coffee shop. Ntar kita cobain, yuk, sebelum pulang?”

Dan Emma pun cuman mendeham-dehem saja karena Kelana mendominasi seluruh percakapan.

Tapi, bukan Emma saja yang menjadi seperti boneka yang terbuat dari lilin saat berdua dengan Kelana, karena itu juga terjadi pada Sasya. Saat itu mereka sedang asyik menikmati BAT alias Bubur Ayam Time mereka dan siapa yang menyangka kalau dari bubur ayam pun, Kelana juga terinspirasi untuk membicarakan soal Pak Donny?

“Pak Donny suka bubur ayam juga, Sas… Tapi bukan di sini… katanya, kapan-kapan gue mau diajakin ke sana…”

“Gue suka heran deh, sama Pak Donny.. Biarpun super tajir gitu, dia masih mau, lho, makan di emperan gini.. Iya, kayak warung bubur ayam ini… Lo bayangin kan, cowok setajir dia, naik mobil Alphard mentereng, dan makan bubur ayam yang harganya cuman lima ribu gini, duduk di pinggir jalan pula. Duh, keren banget, nggak, sih, Sas…”

“Tapi yang paling bikin gue salut, tuh, Say… Dia nggak pernah tuh yang namanya ngeremehin orang… Biarpun sama office boy di kantor, dia tetep mau nyapa lho.. Bahkan nanya kabar anak bininya segala.. my oh my…

Dua jam di warung bubur ayam membuat Sasya menjadi tahu banyak soal Pak Donny yang sebetulnya pernah jijik banget sama bubur karena bentuknya yang encer, tapi kemudian jadi jatuh hati karena pernah mencicipi bubur super enak di Bandung sana. Lalu, Sasya jadi tahu kalau koleksi CD di mobil Pak Donny, hampir semuanya adalah lagu-lagu instrumental saksofon. Dan, ya. Merek bajunya pun Sasya tahu persis. All branded, sekalipun sederhana. What do you want to know? Sasya tahu semua!

Memang begitulah perempuan ketika sedang jatuh cinta. Apalagi perempuan seperti Kelana yang jarang jatuh cinta, tapi begitu jatuh, langsung klepek-klepek seperti ikan yang diangkat dari akuarium lalu megap-megap sendirian tanpa air di dalam setangkup tangan yang terbuka. Hidup Kelana, koleksi kata-kata Kelana, isi pikiran Kelana, seolah hanya ada dua kata saja. Pak Donny. Dan dari dua kata sederhana itu, entah berapa banyak senyum manis yang tersungging di wajahnya hanya dengan menyebutnya di dalam hati.

She’s so in love!

**

“Lan, report yang kemarin itu udah kelar belum, sih?”

Suatu kali, Fira melongok ke kubikelnya.

“Bentar, bentar. Almost done. Kenapa?”

“Nggak, nggak. Gue cuman mau nanya aja, udah kelar belon…”

“Udah kok, sebentar lagi…”

“Ya, udah. Bagus deh… Lagian, lima belas menit lagi kita udah musti kumpul di lobi. Ntar kita pesen taksi aja dari lobi…”

“Iya, iya. Elo yang atur, deh…”

“Elo jangan bocorin pesta kejutan buat Emma ini, lho, Lan…”

“Siap, deh.. Siap…”

“Awas lo…”

“Iyaaaaa…”

Hari ini, Emma berulangtahun yang ke-28. Tidak seperti biasanya, di mana setiap orang ramai mengucapkan selamat ulang tahun lalu menodong minta traktir, kali ini, Indra menyiapkan pesta kejutan buat pacar tercintanya itu. Dia telah menyewa sebuah ruang VIP, memesan makanan dan minuman, membuat guests list, dan mengundang mereka diam-diam di belakang Emma. Semua sudah tahu kecuali the birthday girl yang terlihat sedih karena seharian tidak ada satupun teman-teman terdekatnya mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Rencananya, Indra akan mengajak Emma untuk makan berdua saja, sambil berusaha menghibur hati Emma yang bersedih. Tepat ketika mereka sudah sampai di café, teman-teman akan keluar dari persembunyian dan membawa kue tar berikut dengan balon yang berwarna-warni. It was perfectly planned. Terbayang wajah Emma yang akan sumringah mendapatkan kejutan seperti ini.

Ketika laporannya sudah selesai dan waktu sudah menunjukkan pukul lima lebih sedikit, Fira melongok lagi dari kubikelnya. “Udah selesai?”

“Udah. Gue submit ke email Pak Donny dulu, ya?”

Fira mengangguk lalu kembali ke kubikelnya dan memberesi pekerjaannya, sementara Kelana masih sibuk di depan komputer dan membuka email. Saat membuka email, dia melihat sebuah surat yang belum dia baca. Dari Pak Donny. Hm, kapan datangnya, ya?

Segera, Kelana membuka emailnya.

Kamu suka Maliq n D’Essentials, kan?

Well, saya dapet undangan VIP dari event organizer buat show mereka nanti malam… Mau jadi date saya, hm?

She was torn.

Emma’s surprise birthday party.

Maliq’s concert.

Dan terlebih,

Pak Donny’s charm…

Masa depan. Tujuh turunan. Orang paling ganteng dari seluruh lelaki yang pernah Kelana temui. Yang bisa saja, akan mengucapkan the magic word dalam waktu dekat. Bisa besok, bisa nanti malam… kapan saja!

Kelana tak tahu harus bagaimana lagi. Dia hanya memandang nanar layar komputernya sambil berharap, keajaiban itu datang lagi… Keajaiban yang bisa menenangkan pikirannya dan membuatnya bisa memilih.

**

You missed the party, Lan,” kata Fira, esok paginya. “It was THE party! Nggak pernah gue dateng ke acara pesta seasyik kemarin. Bisa bayangin, nggak, sih. Ibu Rosita, yang udah tuwir dan lemaknya bergelantungan di mana-mana itu, kemarin asyik goyang gergaji ala Dewi Persik! Dan lo tahu? Si Poppy nyanyi kayak kaleng dipukulin sama anak-anak! Gue sampe ketawa sampai mampus ngeliat Poppy segitu pedenya nyanyi lagunya Mariah Carey yang entah berapa oktaf itu. Ediaaaann… It was fun, Lan… Sayang elo nggak bisa dateng karena diare…”

Kemarin, tidak ada alasan lain untuk menghindari pesta kejutan buat Emma, selain beralasan sakit. Diare. Mencret-mencret. Lemas. Mendingan nggak ikutan daripada bikin scene di café. Berhubung Fira juga nggak mau jadi friendsitter, tentu saja dia malah menyuruh Kelana untuk nggak usah ikutan dan istirahat saja di kost. Ah, padahal malam itu, Kelana memilih untuk dinner dengan Pak Donny di sebuah resto dekat tempat konser Maliq lalu tepat pukul delapan malam, mereka meluncur menuju gedung pertunjukan, di mana Kelana bisa sampai ke backstage dan bersalaman dengan seluruh personilnya.

She has a quite fun night, too.

Tapi entah kenapa, dia merasa sangat sedih setiap mendengar cerita tentang pesta ulang tahun Emma kemarin..

Dan juga sangat sedih, ketika berkali-kali ia harus bilang, “Gue udah baikan, kok, Em… Makasih ya, lo udah perhatian banget… Gue emang butuh teh tawar anget… Makasih ya… Oh ya, maaf kemarin gue nggak dateng…”

“Nggak apa-apa, kok. Yang penting elo sehat, Lan… Daripada elo mencret-mencret di café, mendingan elo nggak usah ikut aja….”

Hati Kelana seperti teriris.

Aduh, Em… seandainya elo tau…

**

Malamnya, Pak Donny mengantarnya pulang sampai ke depan kost. Tak seperti biasanya, Kelana tidak segera turun tapi malah tetap duduk di sana, dan membisu.

“Hey, kenapa?” tanya Pak Donny lembut.

Kelana masih terdiam.

“Masih kepikiran soal Emma?”

Dia mengangguk.

“Emma nggak bakalan tau kecuali kamu yang bilang sama dia, kan, Lan?”

“Saya tahu, Pak…”

“Lantas?”

“Tapi saya bukan penyimpan rahasia yang baik…”

“Hm…”

“Saya nggak tahan untuk nggak cerita soal konser kemarin… Saya kepingin bisa bikin iri Emma kalau kemarin saya ngobrol panjang lebar sama Angga… Saya kepingin…”

“Haha, kamu memang explosive, Lan. Kayak dynamite. Meledak-ledak, dan ya. Saya nggak jamin kamu bisa menyimpan excitement seperti ini..”

Kelana menghela nafasnya. “Itulah, Pak.. Saya jadi bingung…”

“Ya, sudah. Kalau memang kelak bakal bocor juga, toh nanti Emma bakal ngerti alasan kamu, kan… Bukannya kamu nge-fans banget sama Maliq? Masa sih, Emma bakal marah-marah? Kekanak-kanakan sekali kalau dia marah, kan?”

“…”

“Tapi satu hal, Lan. Kenapa kamu nggak cerita apa-apa soal pesta ulang tahun Emma, hm? Jujur saya jadi nggak enak juga karena sudah menempatkan kamu di posisi seperti ini…”

Kelana memandang wajah Pak Donny. “Bapak nggak salah, kok. Saya yang salah. Seharusnya, saya nggak perlu bohong sama Emma… Seharusnya saya jujur aja sama dia kalau Pak Donny ngajak saya nonton konser band favorit saya…”

“Itu lebih baik, Lan..”

“Tapi sekarang terlambat, Pak… Seharusnya saya jujur dari awal…”

“Hm, kalau ini benar-benar mengganggu, sebaiknya kamu minta maaf sama Emma, Lan…”

You think?”

Pak Donny mengangguk. “Iya.”

“Emma bakal marah…”

“Tapi kamu bakal lebih tenang sesudahnya…”

**

Beberapa hari berikutnya, setelah mengumpulkan segenap kekuatan untuk berkata jujur pada Emma, akhirnya Kelana memutuskan untuk melakukannya. Being honest with her good friend.

Di warung Bakso Bakar, Kelana mengakui kalau dia berbohong soal diare itu.

“Ah, basi banget, sih, Lan… Gue udah tau!” kata Emma sambil tersenyum.

Kelana membelalak kaget. “Elo udah tau?”

“Iya. Gue udah tahu, Say… Ada yang ngeliat elo sama Pak Donny saat pulang kantor waktu itu… Dan hey, jangan meremehkan naluri detektif Poppy, ya? Dia yang ngasih tau kalau Pak Donny berencana untuk ngajak elo nonton konser itu… Poppy juga yang beliin tiket buat Pak Donny, kok…”

“Jadi?”

“Soal elo ngebatalin makan siang karena ada pekerjaan? I know that too.. Elo milih untuk makan siang sama Pak Donny…”

Kelana terdiam.

“Gue nggak marah, kok, Lan. Gue pernah jatuh cinta seperti elo dan gue rasa itu wajar, kok…”

“…”

“Kalau gue jadi elo, gue bakal milih berdua-duaan sama Pak Donny ketimbang sama temen bawel kayak gue gini…” kata Emma sambil tersenyum.

“Em, elo nyeracau, ya? Elo nggak lagi make narkoba atau suntik apaaa gitu, kan?”

“Idih, najong tra-la-la, deh, lo. Ya nggak lah…”

“Tapi…”

“Tapi apa? Gue biasa aja?”

“Iya…”

“Hmm… because I’ve been there, Lan. Gue udah pernah ngerasain hal yang sama kayak elo gitu. Elo inget nggak, sih, pas pertama kali Indra pedekate sama gue? Inget nggak, gimana gue sering ninggalin elo makan siang sendirian cuman karena Indra ngajak makan siang berdua?”

Sure…

“Nah, apa bedanya gue dulu sama elo yang sekarang? I neglected you over a cute boy, sama seperti elo…”

“Tapi saat itu gue marah banget, kan, Em…”

“Iya, elo marah karena elo nggak pernah ada di posisi gue… Elo merasa gue jadi orang paling menyebalkan karena udah ninggalin elo sendirian, nggak perhatian lagi, yang fokusnya cuman ke Indra, Indra, dan Indra mulu… Tapi coba kalau dulu elo sudah sama Pak Donny? Elo pasti akan memaklumi kenapa gue lebih memilih Indra ketimbang sama elo, kan?”

Kelana mengangguk. “I guess so…”

Emma tersenyum. “Yang elo lakuin sekarang, mungkin kedengaran selfish karena yang lo peduliin cuman Pak Donny dan Pak Donny melulu. Tapi, gimana lagi? You’re in love. And that’s what people do when they’re in love. I’ve been there, done that, jadi gue nggak merasa apa-apa kalau elo lebih seneng ngehabisin waktu elo bareng Pak Donny, instead of gue, Fira, atau Sasya, misalnya…”

“Em.. tapi..”

“Tapi apaaaaa lagi, sih?” potong Emma. “Gue udah berbusa-busa ngejelasin ke elo kalau gue nggak kenapa-kenapa, kok. Ini malah masih ada tapi-nya segala…”

“Umm… tapi sampai batas mana batas tolerir temen baik seperti elo?”

Emma tersenyum.

You know what, Lan, mungkin gue nggak seperti orang-orang lain yang bakal mencak-mencak karena elo udah keliwat egois dan meninggalkan mereka. Karena buat gue, yang penting elo seneng. Elo happy. Elo baik-baik aja. Gue nggak akan marah karena elo udah milih lelaki ganteng seperti Pak Donny ketimbang sama gue… Hell, emang elo bakal kawinin gue? Nggak, kan?” Emma mengerlingkan matanya dan membuat Kelana tersenyum geli. “Ibaratnya elo lagi dilepas di Disney Land gitu deh, Lan… Elo nyoba-nyoba semua wahana yang ada… Berlarian ke sana ke mari, sampai akhirnya, elo bakal lelah sendiri. Nah, Lan. Gue nggak akan jadi seorang temen yang bakal nertawain elo karena elo keliwat excited, tapi gue akan ngajak elo duduk, ngasih elo minum, dan nanya ke elo apa elo tadi ngerasa seneng saat main di sana… There. I would only do that…Karena buat gue, itu definisi temen yang baik… Buat gue, lho, ya…”

Kelana menghela nafas lalu memandang Emma lekat. “You’re one of a kind, you know that, huh?” kata Kelana sambil tersenyum.

I know. Kadang gue ngerasa, gue lebih segala-galanya ketimbang elo, tapi kenapa Pak Donny lebih milih elo daripada gue, ya? Lelaki yang aneh…”

“Idih, Emma…”

“Apa jangan-jangan elo pake pelet, deh!”

“Iiihhh…”

“Ah, gue tau. Pantes aja elo sering ngunyah kembang di pojokan.. pasti karena elo mau usaha melet pak Donny, kannn…???”

“Emmmaaa!!!”

**

Hari Jumat sore.

I miss you. Let’s have a date.

Beberapa menit kemudian.

Miss you, too. Same place?

From : Sasya.

Yap. Meet you there at 6.

Ok.

From : Sasya.

Hey, have I said I miss you?”

Yes. And stop saying that again. Lebay! Haha!”

From : Sasya.

Ketika Kelana membaca SMS dari Sasya, hatinya bergetar karena mengetahui Sasya pun bersikap sangat baik padanya, pada aksi sok sibuknya belakangan ini dengan Pak Donny. Dan yang membuat hatinya bergetar lebih hebat lagi, karena mendadak ia ingat dengan kata-kata Emma di ujung makan siang, beberapa hari yang lalu.

Saat itu Emma hanya mengatakan, “Gue berani taruhan, you’re gonna feel exhausted dengan kencan demi kencan itu dan elo bakal kangen sama kami-kami, temen-temen perempuan elo. Kenapa? Karena gue yakin, you’re gonna miss talking dirty gossips atau ngomongin hal-hal nggak penting seperti baju yang lagi trendi, sepatu mary-jane, cowok ganteng di lantai empat belas, atau sale di Zara… Things you barely do it when you’re with your guy…

Dan Emma memang benar.

Kelana merindukan Emma yang bawel, Sasya yang rewel, dan single secret behaviournya dimana dia nggak perlu menjaga image dengan ketawa ngakak lebar-lebar, ngomong jorok, sampai ngupil nggak jelas.

Memang betul, dia bahagia sekali melewatkan waktu dengan Pak Donny, tapi tetap saja, tidak akan ada yang bisa mengalahkan Sasya sebagai partner window shopping yang paling antusias diajak jalan-jalan mengitari mal tanpa maksud dan tujuan. Pak Donny pasti klenger dan protes kalau Kelana memintanya menemaninya keliling dari satu butik ke butik yang lain. Belum mengucapkan cinta, udah mundur duluan, kali! J

Sahabat perempuan memang tidak akan tergantikan dan hal ini membuat hati Kelana kelu seketika. Segera dia men-dial nomor ponsel Sasya.

“Lan?”

“Sas, gue mau nanya.”

“Apaan?”

Am I a little miss ego to you? Selfish? Cuman mentingin dunia gue aja dan nggak peduli sama elo?”

“Iya. Elo adalah a selfish bitch.”

Kelana tersedak.

“…but you’re still my favorite, and beloved selfish bitch… ever…

Dan gerimis itupun jauh di atas pipi Kelana...

***

Kamar, Jumat, 18 Desember 2009, 12.04 Pagi