Thursday, December 10, 2009

(13) Face My Own Fears, eh?


Kubikel Kelana terlihat kosong melompong. Tidak seperti biasanya; kali ini tidak ada cangkir kopi yang biasanya membentuk gumpalan asap hangat yang harum di permukaannya, tidak ada tas ransel Elle warna cokelat muda yang biasanya tergeletak dengan pasrah di atas meja, tidak terdengar lagu-lagu Top 40 dari dua speaker kecil yang ada di sisi kanan dan kiri LCD monitor, dan yang paling membuatnya tidak biasa adalah, tidak ada sosok perempuan berambut ikal kecoklatan yang sering dengan bawelnya mengintip kubikel sebelah lalu bertanya, “Eh, lo punya makanan, nggak, Fir?” Karena pagi ini, tidak nampak tanda-tanda kehidupan sama sekali di dalam kubikel Kelana yang biasanya ramai oleh kicauannya. Tidak ada bunyi tombol-tombol keyboard yang beradu dengan jari atau omelan kesalnya pada customer yang menyebalkan.

“Kelana kemana, sih, Em?” Fira, sales yang kubikelnya persis bersebelahan dengan Kelana memutuskan untuk bertanya pada Emma.

“Ijin sakit, bukan, sih?” Emma malah bertanya.

“Hah? Ijin sakit? Sakit apaan? Biasanya itu anak seger buger kayak pelatih fitness, kan?”

Emma terkikik geli. Membayangkan Kelana dengan badan berotot mirip Ade Rai, memakai rok span, high heels, dan mencangklong tas ransel Elle yang androgini, berhasil membuat Emma tak sanggup menelan ubi kukusnya karena ia malah sibuk tertawa.

“Idih, malah ketawa,” kata Fira. “Lo ngebayangin apa, sih, Em?”

“Nggak, nggak, kok..” Emma mencoba menahan tertawanya. “Nggak penting banget. Eh, tadi lo nanya apa? Kelana sakit apa?”

Fira, perempuan bertubuh mungil dengan tahi lelet segede upil di bibir bagian bawah kanan itu langsung menganggukkan kepalanya.

“Dia tadi bilang badannya meriang. Terus, batuk-batuk gitu deh…”

“Ow…”

“Emang kenapa lo nyari Lana? Nggak biasanya lo kangen sama dia…”

Fira tersenyum.

“Gue nggak sedesperate itulah biar belum kawin juga,” kata Fira. “Gue cuman penasaran aja, kok tumben-tumbennya dia nggak masuk padahal hari ini kan ada meeting bulanan yang biasa dia tunggu-tunggu… Elo hafal dong, sama kebiasaan Lana yang selalu dandan abis setiap meeting bulanan karena bakal ketemuan sama Pak Donny yang oh-so-gorgeous itu?”

Tidak ada hari yang lebih menyenangkan buat Kelana ketimbang hari Rabu pertama di setiap awal bulan. Di hari Rabu yang sacred itu, Kelana bakal berusaha sekuat tenaga untuk menjadi perempuan paling cantik dan memesona di dalam ruang meeting. Kalau biasanya dia hanya mengikat rambutnya dengan jepit laba-laba seadanya, mirip dengan asisten rumah tangga sedang mencuci pakaian di belakang rumah, hari Rabu itu dia bakal rela mem-blow rambut ikalnya terlebih dulu lalu menjepitnya dengan aksesoris rambut yang kecil, mungil, bermata putih berkilauan. Lalu, soal celana panjang dan kemeja yang merupakan penampilannya sehari-hari, bakal berubah menjadi rok pensil dengan pinggang tinggi, blus feminin warna putih berleher rendah, dan syal kecil yang melilit lehernya seperti seorang pramugari yang akan bertugas.

In short, Kelana seperti berganti kemasan setiap hari Rabu pertama, setiap bulannya. Dan bukan rahasia lagi kalau Kelana melakukannya, spesial untuk Pak Donny yang menjadi pujaannya. Kapan lagi dia bakal berada di dalam satu ruangan dengan bos gantengnya itu kalau bukan di saat meeting seperti itu? Kapan lagi dia bisa menikmati wajah Pak Donny yang ganteng dan mencium harum tubuh wangi Pak Donny selama tiga jam penuh, kalau bukan di saat meeting bulanan? Kelana hanya bertemu Pak Donny pada saat-saat tertentu saja. Apalagi dengan teknologi berupa email dan telepon, komunikasi mereka tak memerlukan tatap muka. Dengan keterbatasan kesempatan itu, Kelana tak pernah melewatkan hari Rabu pertama itu sekalipun badai sedang menggulung kamar kosnya sekalipun. Pernah, biarpun sakit flu parah, Kelana tetap datang ke kantor dan mengikuti meeting sampai selesai.

Jadi, kalau hari ini Kelana memilih untuk tidak masuk karena badannya meriang, ada dua pertanyaan yang muncul di benak Emma.

Kelana memang sedang sakit parah, atau…

Kelana sudah nggak doyan sama Pak Donny lagi?

“Edan, gue jadi penasaran, nih, Fir…” kata Emma sambil menggaruk-garuk rambutnya.

“Penasaran? Penasaran apaan, sih?”

“Ya, Kelana, lah…”

“Kenapa dia?”

Meeting ini kan sakral banget buat dia, Fir.. Kalau dia sampai nggak ikutan, berarti dia lagi kenapa-kenapa, tuh!”

“Maksud lo, dia sakit parah?” Fira nampak terkejut.

“Emang lo kemarin liat tanda-tanda dia bakal sakit parah nggak, sih?”

Fira mencoba untuk mengingat-ingat apa yang terjadi seharian kemarin. Hari Selasa, sesiangan Fira keluar market dengan Kelana, bertemu client di hotel Sheraton. Mempresentasi beberapa hal lalu sekalian teken kontrak. Pulangnya, mereka ditraktir makan dengan client yang sama di restoran masakan Jepang yang ada di lantai lima sebuah mal. Pukul lima, mereka sudah tiba di kantor dan Kelana sibuk berkemas-kemas; memasukkan notes, PDA, mematikan komputer, dan membawa cangkir kopinya ke pantry. Tepat menjelang pukul setengah enam, Kelana sudah menghilang dari kantor, masuk ke dalam lift, lalu tabung itu membawanya turun sampai ke lobby.

Semuanya terlihat biasa saja.

Dan Kelana nampak sehat-sehat saja. Tidak terbatuk-batuk, tidak mengeluh sakit, dan makannya masih gila-gilaan karena dia selalu berprinsip untuk pantang menolak rejeki.

“Nggak, tuh,” tukas Fira. “Dia sehat-sehat aja…”

“Atau dia baru sakit setelah pulang kantor, kali, ya, Fir?” Emma berusaha berpikiran positif.

“Bisa jadi, tapi..”

“Tapi apa?”

“Emang lo percaya?”

Rabu pagi itu, Kelana membuat kedua rekan kerjanya berubah menjadi sepasang Detektif gadungan…

**

Di pagi yang sama, Kelana dan Sasya sedang menikmati bubur ayam di pinggir Jalan Jawa. Jarang sekali pemandangan ini terlihat di hari Rabu pagi, karena biasanya, sepasang sahabat itu hanya menikmati BAT alias Bubur Ayam Time setiap hari Sabtu pagi. Selain itu, jarang sekali.

“Tumben lo mau-maunya gue ajakin bolos kayak gini, Lan? Biasanya elo baru bisa keluar setelah jam makan siang…” tanya Sasya sambil menyendokkan bubur ayamnya ke dalam mulutnya yang lebar.

Kan, elo sahabat gue, Sas…”

“Terus, bulan kemaren, elo bukan sahabat gue, gituh?” tanya Sasya lagi. “Elo udah jadi sahabat gue bertahun-tahun, Lan, tapi baru kali ini elo yang ngajakin gue bolos.. Aneh, tauk.”

Kelana tersenyum. “Ah, nggak usah lebay, deh, Sas…”

“Heh, gue serius, Lan. Sepagian ini, sebelom elo udah nongol di depan kost-an dengan sepeda motor pinjeman bapak kost elo, gue udah heran aja baca SMS dari elo. Gue sampe cuci muka berkali-kali, ngucek mata berkali-kali, sampe gue bener-bener sadar kalau yang gue baca itu emang bener…”

“Lebaaaayyy….” Kelana dengan cueknya berkomentar sambil terus menyuapkan bubur ayamnya.

Dengan gemas, Sasya mencubit hidung sahabatnya sampai Kelana megap-megap kehabisan oksigen.

“Idih, friend abuse!” kata Kelana sambil mengusap-usap hidungnya.

“Biarin! Elo aneh, sih…”

“Coba jelasin keanehan gue, sampai-sampai gue musti jadi korban KDP seperti ini.”

“KDP?”

“Iya. Kekerasan Dalam Persahabatan.”

Sasya tersenyum.

“Gue musti mulai dari mana, heh?”

**

Kelana memeluk gulingnya sambil menatap langit-langit kamar kost yang mirip seperti peta dunia karena banyak bercak-bercak bekas air hujan yang merembes ke plafon. Suasana kamar kost memang tidak seperti biasanya alias jauh lebih tenang. Sekarang memang masih pukul tiga sore. Dengan rata-rata penghuni kost yang pekerja kantoran semua, tentu saja rumah ini bakal ramai hanya setelah pukul enam sore. Yang tersisa memang hanya Ibu kost dan suaminya saja. Anak-anak mereka sudah ‘mentas’ semua dan mengadu peruntungan di Ibukota. Otomatis, pukul tiga sore, suasana rumah kost jadi sangat sepi dan membuat Kelana bingung sendiri di dalam kamarnya.

Apalagi ditambah dengan pikirannya yang melayang-layang ke percakapannya tadi pagi dengan Sasya di warung Bubur Ayam. Lengkap sudah!

“Pertama, nggak biasanya elo ngajak gue bolos, Lan… Hellow… Kelana yang gue tau itu, biarpun bandel, tapi paling ogah disuruh bolos karena bakal mengurangi jatah cuti… Elo lebih memilih untuk cabut di sela-sela market daripada musti bolos kerja.

Lalu kedua. Bukan cuman malaikat yang tahu kalau hari Rabu pertama adalah hari paling sakral yang cuman kalau sapi melahirkan anak gajah aja elo bakal bela-belain nggak masuk karena pengen ngeliat proses persalinannya…

Dan terakhir… elo sekarang selalu pulang tepat waktu. Gue telepon ke kantor jam lima lebih sedikit, elo udah ngilang entah kemana.

Ini nggak biasa, Lan.

Elo aneh!”

Kelana menyadari keanehannya.

Pagi tadi, ketika Sasya seolah menjadi Jaksa Penuntut Umum yang tengah membacakan dakwaan buatnya, Kelana berubah menjadi pesakitan yang tengah duduk di dalam ruang peradilan. Duduk, muka tertunduk, dan jari-jemari yang saling meremas untuk menghilangkan kegelisahannya. Dia hampir tidak bisa memberikan pembelaan, karena apa yang musti keluar dari mulutnya untuk membuat Kelana terhindar dari dakwaan, sementara semua yang terlontar keluar dari mulut sahabatnya adalah kenyataan yang tak bisa disangkal?

Sejak Kelana bergabung di kantornya yang sekarang, dia tidak pernah menggunakan hak cutinya untuk hal-hal yang tidak penting seperti ini; makan bubur ayam yang bisa dilakukan pada hari Sabtu pagi atau sekadar ngobrol dengan Sasya yang bisa dilakukan usai jam kerja, jelas bukan hal yang urgent. Tapi tadi pagi? Dia memilih untuk tidak masuk.

Aneh? Pasti!

Lalu soal hari Rabu itu? Ah, sebagai sahabatnya selama bertahun-tahun, Sasya pasti inget persis dengan kebiasaan Kelana yang satu itu. Apalagi ditambah dengan kebiasaan Kelana yang selalu membagi cerita tentang kegantengan Pak Donny saat sepulang kantor mereka nongkrong di depot dekat kost, tentu saja Sasya pasti akan keheranan kalau hari ini Kelana malah memilih untuk meluangkan waktu dengannya daripada dengan Pak Donny yang ganteng itu.

Dan soal pulang selalu tenggo alias begitu teng langsung go, Kelana juga tak bisa berkelit lagi. Jarang sekali dalam sejarah, Kelana cepat-cepat pulang dan memilih berdesak-desakan di dalam lift yang akan membawanya turun sampai ke lobby. Biasanya, dia bakal menunggu sampai agak sepi, baru kemudian turun dengan nyaman.

Kelana memang tidak biasa seperti ini.

Kelana memang aneh.

Kelana memang berubah.

Tapi kenapa?

“Gue emang nggak bisa bohong dari elo, ya, Sas…” kata Kelana akhirnya, saat mereka masih duduk di warung Bubur Ayam.

“Jadi, elo ngaku kalau ada sesuatu?”

“He-eh.”

“Emangnya ada apa, sih, Beb?”

Kelana menghela nafasnya.

“Mmm… lo inget waktu gue terlambat dateng ke bioskop, dua minggu yang lalu?”

“Yang gue senewen karena elo dateng last minute banget, itu, ya?”

“Iya. Inget, kan?”

“Emang ada hubungannya?”

“Justru itu awal mula keanehan gue…”

Sejak accident di lift, dua minggu lalu, ketika Kelana tanpa sadar memeluk erat-erat tubuh Pak Donny dari belakang karena mendadak lift mati, Kelana mulai merasa tidak nyaman berada di dalam satu ruangan dengan Pak Donny. Tentu saja karena setiap kali ia melihat wajah lelaki ganteng itu, yang terbayang di dalam kepalanya adalah ketololannya malam itu, juga kerlingan genit Pak Donny saat meninggalkan Kelana yang bengong di dalam lift yang pintunya terbuka. Tidak pernah Kelana merasakan sangat malu seperti itu. Tidak pernah Kelana begitu ingin menggali sebuah lubang lalu mengubur dirinya saat itu juga, kecuali malam itu. Dan rasa malu itu terbawa sampai hari ini, di hari Rabu yang semestinya menjadi hari yang sangat menyenangkan ini.

Saking malunya, Kelana selalu berusaha untuk mengurangi intensitas pertemuannya dengan Pak Donny. Kalau selama ini dia selalu berusaha mencari-cari kesempatan untuk masuk ke dalam ruangannya, sejak saat itu, Kelana malah memfungsikan email dan telepon semaksimal mungkin. Kalau selama ini dia selalu memilih untuk mengulur-ulur waktu pulang karena ingin berbagi lift dengan Pak Donny, sejak dua minggu yang lalu, Kelana malah memilih untuk segera pulang cepat sekalipun musti menunda pekerjaannya sampai besok pagi. Dan hari Rabu ini, dia tidak tahu bagaimana caranya menghindar dari sosok Pak Donny selain dengan cara tidak masuk ke kantor sama sekali. Tidak terbayang musti berada di dalam satu ruangan dengan Pak Donny selama tiga jam penuh, bahkan seringkali lebih. Tidak, tidak. Kelana tidak sanggup!

“Tapi, mau sampai kapan elo begini, Lan?” tanya Sasya setelah Kelana mengaku dosa.

“Tauk, deh. Sampai gue resign, kali…”

“Kali ini, elo yang lebay,” kata Sasya.

“Hh. Biarin, deh. Habis gimana lagi, Sas? Sumpah mati, gue malu banget! Gue malu ngeliat wajahnya karena setiap ngeliat dia, yang kebayang gue adalah perempuan najong yang keganjenan meluk Bossnya!”

“Jadi elo takut kalau Pak Donny mikir yang macem-macem?”

“Pasti!”

“Emang, apa skenario terburuk yang ada di dalam pikiran elo, hm?”

“Dia bakal risih sama gue?”

“Terus?”

“Dia bakal menjaga jarak?”

“Bukannya elo yang menjaga jarak, sekarang?”

Kelana terdiam.

Apa yang dikatakan Sasya memang benar. Sejak saat itu, Kelana memang benar-benar menempatkan jarak di antara dia dan Pak Donny. Setiap kali Pak Donny menelepon, Kelana tidak pernah betah berlama-lama ngobrol dan bicara seperlunya. Kalau dulu Kelana selalu menyapa setiap berpapasan, kini tidak ada lagi acara tegur sapa semacam itu. Bahkan, beberapa kali Pak Donny mengajaknya makan siang dengan client, tapi Kelana menyuruh Emma atau Fira, dengan alasan dia sedang banyak pekerjaan.

Ah, ternyata memang Kelana yang menjaga jarak, bukannya Pak Donny.

“Lan… lo mau dengerin saran gue, nggak?” tanya Sasya hati-hati.

“Ya…”

Don’t live your fears. Fight them. Hidup elo bakal tersiksa kalau terus-menerus memanjakan rasa takut itu. Hidup elo bakal nggak nyaman, deh.”

“Jadi, maksud lo, gue musti berani ngadepin Pak Donny gitu?”

“Iya. Hadapi rasa takut lo dan lihat apa yang terjadi.”

“Kalau kejadiannya bakal seperti yang ada di dalam kepala gue, bisa-bisa gue bakal semaput, Sas…”

“..tapi gimana kalo yang terjadi malah sebaliknya?”

“…”

Sometimes, kita terlalu ketakutan terhadap sesuatu padahal sebetulnya, tidak semenakutkan yang kita bayangkan… Bagaimana kita tahu kalau itu ternyata tidak menakutkan? Tentunya dengan cara… menghadapinya.”

Di dalam kamar kost yang tenang, Kelana sedang bertengkar dengan hati kecilnya sendiri.

Face my own fears, eh?

Bisakah?

**

Sudah menjelang pukul setengah enam sore, Kelana masih sibuk di depan komputernya. Sebetulnya dia ingin sekali pulang tenggo, tapi pekerjaan ini tidak bisa ditunda sampai besok pagi. Pak Donny menunggu malam ini juga, sampai pukul tujuh malam. Dia akan membuat recap laporan dari semua sales dan mengerjakannya dari rumah saja. Tidak bisa tidak, Kelana harus mengerjakannya tanpa ditunda.

“Gue pulang dulu, ya, Lan… hati-hati, ada Kuntilanak…” pamit Emma sebelum pulang. Dia terkikik geli di sebelah Fira lalu meninggalkan Kelana sendirian di dalam ruangan sales.

Dan itu sudah bermenit-menit yang lalu, tapi Kelana masih sibuk sendiri di depan layar komputernya, berusaha menyelesaikan laporannya yang mungkin baru akan kelar sepuluh menit lagi.

Ketika Kelana sedang berkutat dengan laporannya, mendadak telepon di mejanya berdering. Dari nada deringnya, Kelana tahu kalau dering yang pendek-pendek itu berasal dari sambungan telepon internal. Duh. Jangan-jangan Pak Donny!

“Lana…” sahut Kelana hati-hati sambil mengangkat gagang teleponnya.

“Lana? Sudah selesai?”

Tuh, kan! Benar-benar Pak Donny! Jantung Kelana mulai berdangdutan.

“Sep…sepuulluuuhh.. mmm..mmenit lagi, Pak,” kata Kelana terbata-bata.

“Hmm… sepuluh menit lagi, ya?”

“Bapak terburu-buru, yaa? Saya akan kerjakan secepat mungkin, Pak… Tunggu sebentar ya…”

“Oh, nggak, kok, Lan.. Nggak apa-apa. Kamu kerjakan sampai selesai, jangan terburu-buru. Saya bakal tetap nunggu sampai pukul tujuh, kok.”

“Baik, Pak. Nanti saya akan kirim lewat email segera setelah saya selesai…”

“Bagus, lah, kalau begitu, Lan…”

“Iya, Pak. Segera…”

Tiba-tiba hening menyergap. Kelana merasa heran. Tidak ada suara sama sekali, Pak Donny diam tapi hubungan telepon tidak terputus. Ini sambungan teleponnya yang bego atau apa, sih? Kelana bertanya-tanya dalam hati.

“Umm… Lan?” kata Pak Donny akhirnya.

“Ya, Pak?”

“Umm… nanti malam.. um.. kamu ada waktu?”

What did he just say??? Hati Kelana bertanya.

“Saya mau mengajak kamu makan malam… Ada café baru, milik teman saya.. Kamu mau menemani saya, kan?”

I repeat. WHAT DID HE JUST SAY????

“Sudah dua mingguan ini saya mencari alasan untuk mengajak kamu ke sana, Lan, tapi rupanya kamu super sibuk dan nggak ada waktu terus…”

I’m officially def.

“Jadi, nanti malam, kamu luangkan waktu buat saya, ya, Lan… It’s a date. Gimana?

Mendadak terngiang kembali kata-kata Sasya dua hari yang lalu.

Sometimes, kita terlalu ketakutan terhadap sesuatu padahal sebetulnya, tidak semenakutkan yang kita bayangkan…”

Dan ternyata, sahabatnya benar.

Ketakutannya ternyata tidak semenakutkan yang Kelana bayangkan sebelumnya.

Ya.

Sejak kapan makan malam berdua dengan Pak Donny dan fakta kalau lelaki pujaan hatinya sudah berusaha untuk mengajaknya kencan sejak dua minggu yang lalu adalah menakutkan?

Dan kalau menakutkan, kenapa yang hadir malah senyuman yang tak kunjung lepas dari wajahnya, dan bukannya keringat dingin bahkan pipis di celana?

“Gimana, Lan?”

Ketakutan Kelana akan Pak Donny yang mempermasalahkan accident lift itu lenyap sudah. Dan kini? Ketakutan yang menanti adalah... is she pretty enough for the date? Dengan kemeja biasa, celana panjang warna khaki, dan rambut yang hanya diikat seperti Asisten mencuci baju di belakang rumah begini?? Ah. Bodo amat! Yang penting kencan! Yippee!

Kelana tersenyum. “Iya, Pak.. It’s a date…

***

Kantor, Jumat, 11 Desember 2009, 12.25 Siang

0 comments: