Sunday, October 25, 2009

Shit Happens

“Ow, shit!” kata Sasya sambil memegang bahu Kelana, berpegangan agar tetap seimbang. Mereka memang sedang berjalan menuju ke tempat pangkalan taksi di lobby mal, tapi mendadak hak stiletto Sasya patah, persis di tengah.

“Kok bisa sih, Sas?” tanya Kelana. Mereka memutuskan untuk berhenti sebentar, memberi Sasya waktu untuk ‘merenungi’ nasibnya. Maklum, stiletto adalah benda kesayangan Sasya. Kemanapun dia melangkahkan kaki, Sasya selalu mengalasi kaki-kaki jenjangnya dengan stiletto yang seringkali bikin dia salah urat. Tapi itulah Sasya, fashion is always her passion. Sampai-sampai Kelana sering ngomel-ngomel kalau mengajak Sasya pergi ke gym. Gimana, nggak? Dandanan nge-gym Sasya nggak jauh beda dengan dandanan orang jalan ke mal. Full make up, trendy, kadang malah lengkap dengan bulu mata palsu. Kurang edan apa, coba?

“Tau, nih… Stiletto gue udah mulai uzur kali, ya, Lan…” kata Sasya dengan wajah sedih.

“Yaaa… sama kayak yang make, sih..” Kelana tertawa, tapi Sasya malah mencubitnya kesal, meski pelan. “Aw, aw. Ampun, Sas… Ampuuunn….”

“Terus gue gimana, nih? Masa gue musti copot sepatu, sih?”

“Ya iya, lah. Emang lo bisa gitu, jalan pake sepatu yang haknya copot sebelah? Makin keliatan aneh, kale, Babe….”

“Tapi, masa cewek cakep kayak gue jalan ga pake sepatu, sih?”

“Aduh, Sas… Plis deh. Cuman sampe depan doang, kan? Paling nggak sampe lima menit kita udah masuk di dalam taksi… Ayo, deh.. Jangan menye-menye gitu ah..” Kelana menarik tangan sahabatnya yang mulai menurut dan mencopot sepatu kesayangannya. “Yuk, yuk…”

Setengah berlari, dua perempuan usia dua puluh delapan itu melintasi lobby menuju ke pangkalan taksi persis di depannya. Setelah duduk dengan tenang di dalam taksi, Kelana menoleh pada Sasya yang masih menimang-nimang stiletto hitam kesayangannya, yang dibelinya dengan susah payah dan berharga hampir sejuta itu.

“Sedih?” tanya Kelana.

It’s not even a question, ah, Lan,” kata Sasya dengan wajah muram.

Kelana tersenyum. “I’m sorry, Sas… Tapi, udahlah… Jangan keliwat sedih dan dipikirin mulu, ah…”

Sasya masih cemberut.

Darling,” kata Kelana sambil mengusap punggung Sasya. “Shit happens. Deal with it.”

Taksi itu masih melaju ke rumah kost Sasya sebelum membawa Kelana sampai ke rumah kostnya. Ketika turun dari dalam taksi, Sasya cuman tersenyum kecut sambil melambaikan tangannya.

*

Suatu pagi hari yang ceria, Emma menghampiri kubikel Kelana sambil mesam-mesem. Sebagai teman dekatnya selama tiga tahun, Kelana tahu persis kalau ada beberapa faktor yang bisa membuat wajah Emma menjadi sumringah seperti itu.

“Indra udah nyosor elo, ya, Em?” tanya Kelana. Indra, anak baru itu memang sudah melancarkan gerilya untuk mendapatkan hati Emma sejak beberapa bulan yang lalu.

Emma tersenyum. “Kalo itu sihhhh udah dari kapan tau, kaleeeee..” katanya sambil terkikik.

“Najong, lo!” kata Kelana. “Enak?”

“Enaaaakkkk… tapi, eeehh….. gue sumringahnya bukan karena itu kaliii…” Emma buru-buru menyudahi aksi ember bocornya. “Gue sumringah karena….”

“…menang tender?” potong Kelana.

“Ummm…”

“Elo udah memutuskan untuk ikutan operasi payudara kayak si Barbie?” Kelana menyebutkan nama julukan buat perempuan di lantai lain gedung ini, yang setiap hari selalu bertemu di dalam lift itu.

“Heh, Sinting,” tukas Emma. “Lama-lama, gue niat beli kaos kaki sepuluh ribu tiga buat nyumpel mulut lo yang ember itu, Bencong…”

Kelana tertawa. Dia sudah terbiasa dengan sebutan: ‘Bencong’, ‘Sinting’, ‘Najong’, dan lain-lain. Tiga tahun dekat dengan Emma, tentunya tidak akan membuatnya menjadi perempuan yang sensitif dan mudah tersinggung karena mereka saling mengenal karakter satu sama lain.

“Jadi?”

“Lo perhatiin baju gue, kan?”

“Ya.”

Hari itu, Emma memakai kemeja barunya yang baru dibeli di gerai Next. Warna putih bersih, dengan aksen Victorian. Emma memang pecinta pakaian-pakaian klasik yang akan terus bertahan in style sekalipun waktu menggerus jaman. Seperti pesan Coco Chanel, agar semua perempuan membeli pakaian yang klasik dan bukan yang sedang trend saat ini. Fungsinya tentu agar bisa dipakai lagi di segala jaman. It will always go with style, no matter what.

Next, ya?”

“Iyah! Cakep, kan?”

“Tumben lo nekat beli warna putih, Em? Biasanya elo paling menghindar beli baju-baju warna putih begini…”

“Hmmm… gimana, ya, Lan… in the name of ‘Sale’ getuh….”

“Idih. Anak konglomerat kok itung-itungan soal kemeja seharga empat ratus rebu, sih?”

“Sialan, lo! Tapi, lo liat nggak sih, modelnya? Favorite gue banget, kan? Dan coba lo perhatiin deh… Keren banget nggak, sih, gue pake baju ini…”

Actually, Emma terlihat cantik, dengan pakaian apapun. Tapi ya, kemejanya kali ini memang membuatnya terlihat jauh lebih sophisticated.

It looks gorgeous, though. Tapi.. yakin lo bisa handle warna putih begini?”

Pagi itu, Emma berapi-api sekali membeberkan sejuta alasan pada Kelana soal kemeja putih barunya. Bagaimana kemeja itu terlihat sangat serasi dengan kulitnya, bagaimana kemeja itu pas banget dengan bentuk tubuhnya, bagaimana dia bakal berhati-hati untuk nggak ceroboh saat memakai baju berwarna putih; warna pakaian yang pernah dibilangnya “Never-Ever-Gue-Beli” itu. Dan Kelana hanya bisa bilang, “Semoga bajunya lebih tahan lama dibandingin parfum KW2 gue ya…”

Tapi sorenya, Emma kembali ke kantor, dengan wajah yang murung. Mulutnya cemberut, mukanya kusut, dan o’oh.. kemeja barunya! Ada bercak-bercak berwarna kecoklatan di bagian lengan kanan dan sedikit di dada sebelah kanannya.

“Gue sebel sama Indraaaaa…”

“Kenapaaa???”

“Pas gue lagi nyeduh kopi di pantry, eh, dia gelitikin gue… Walhasil, kopi gue tumpah dan belepotan kemana-mana…”

“Nggak bisa diselametin, gituh? Udah lo kasih air? Seharusnya lo rendem aja kali, Em…”

“Udah, Lan… Udah gue kasih air, eh… malah belepotan ke sana sini. Gue pinginnya sih direndem aja, tapi aje gile, emang gue bakal pake baju apaaa…”

“Tunggu sampe elo pulang kantor, bisa kan?”

“He eh, sih… Tapi masih tiga jam lagi kan, Lan… Ntar kalo nggak bisa ilang, gimana?”

“Ya, udah. Relain.”

“Hu-uh. Rela gimana? Elo kan tau gue suka banget sama baju ini…”

“Lah, gimana lagi? Lo mau nangisin bombai kayak waktu Michael Jackson meninggal, gituh?”

Emma mencubit lengan Kelana sambil cemberut. Kelana tersenyum sambil mengelus punggung teman dekatnya itu.

“Em… shit happens, lah. Kapan hari hak stiletto Sasya juga patah, persis di tengah. Meweknya juga sama kayak elo. Najong juga, persis kayak elo sekarang,” kata Kelana. “Tapi mau gimana lagi? When shit happens, you just have to deal with it.”

“…”

“Udah, ah. Jangan dipikirin lagi. Gimana kalo elo cerita soal Indra aja?”

“Hah?”

“Abis dikitik-kitik, elo diapain lagi sama Indra? Nyosor lagi, ye?”

Emma memang berusaha tersenyum, tapi Kelana tahu, kemeja putih kesayangan Emma itu tidak akan berubah menjadi sebersih saat masih belum ternoda. Baju putih dengan lengan kecoklatan yang membuat senyum di wajah Emma hadir dengan terpaksa…

*

Di hari yang sama, Kelana harus menyelesaikan laporan marketnya yang diminta Pak Donny. Dia memang sempat me-lobby seorang klien di sebuah coffee shop, sesiangan tadi, dan Pak Donny memang menyuruhnya untuk segera memberikan brief report soal ini. Walhasil, setelah pulang dari market, dia langsung sibuk di depan komputer kantor dan mulai membuat laporan berbentuk power point yang selalu diminta pak Donny.

Jam sudah menunjukkan pukul enam lebih dua puluh menit. Untuk sebuah kantor yang pulang pukul lima sore, Kelana harus rela sendirian di kantor… ups, berempat deng. Dengan Pak Dadang, office boy. Lalu Pak Yudha, copywriter yang sedang menggarap sebuah project, dan tentunya Pak Donny, bossnya yang ganteng banget itu.

Mendadak, telepon di mejanya berdering.

“Lana…” sapa Kelana.

“LAAANNNAAA!!!” sebuah suara perempuan berteriak di ujung satunya.

“Heh, Sas! Gue nggak budek, kaleeee…”

“Aduuuhhh… Aje gile, lo, Laaann… Ude jam berapaaaa???”

“Iya, iyaa.. Gue tauuu… Filmnya mulai jam berapa sih?”

“Jam tujuh, Sayang. Jam tujuuuhhh….”

“Masih jam tujuh ini, kaaannn… Masih cukup kok waktunyaaa… Karcis udah kebeli, kan? Ntar lo masuk dulu aja kalo gue belum dateng… Kalo gue udah nyampe, gue SMS elo… alrite, Darling?”

“Jangan telat, dong… Plisss…”

“Iyaaaa…. Sabar… Udah, godain cowok-cowok aja gih, buat ngebunuh waktu lo…”

“Sialaaan…” Sasya menutup teleponnya dan meninggalkan Kelana yang asyik terkikik geli.

Setelah menutup telepon, Kelana melanjutkan mengerjakan laporannya yang tinggal direvisi sedikit lagi… and it’s done. Usai memberikan finishing touch, Kelana mengirimkan laporannya itu via email Pak Donny.

Tak beberapa lama kemudian, telepon kembali berdering.

“Sasyaaaa.. plis deh…” kata Kelana saat mengangkat gagang teleponnya.

“Lana, ini saya. Donny.”

Ups!

“Iya, Pak.. Maaf, saya pikir teman saya yang telepon…”

Pak Donny tertawa. “Iya, nggak apa-apa. Oh ya, laporannya sudah selesai, kan?”

“Sudah, Pak. Barusan saya kirim via email.”

Good,” sahut Pak Donny. “Saya baca di rumah aja deh. Sekarang saya mau pulang. Kepala saya pusing, soalnya.”

“Baik, Pak. Saya juga ijin pulang, deh..”

“Eh, bareng aja turun ke lobby. Saya lagi nggak bawa mobil hari ini, Lan. Mobil saya masuk bengkel. Saya mau cari taksi.”

Kelana mulai merasa jantung bergetar dangdutan.

“Umm…boleh, Pak. Saya tunggu di resepsionis?”

Okay.

Hubungan telepon terputus sedetik kemudian. Kelana segera membereskan pekerjaannya, memasukkan ponsel, lalu pastinya, tidak lupa untuk men-touch up dandanannya. Mengintip cermin yang bertengger di bawah LCD monitor kantornya untuk melihat apakah dia sudah cukup cantik. Hei, jarang-jarang banget lho, bisa satu lift dengan Pak Donny. By request, pula! WOW!

Setelah yakin kalau wajahnya nggak belepotan seperti pantat panci gosong, cepat-cepat Kelana berjalan ke resepsionis, menanti Pak Donny yang belum terlihat batang hidungnya. Sepuluh menit kemudian, sosok ganteng Pak Donny yang dari kejauhan terlihat macho dan gagah dengan rambut gondrong yang dikuncir rapi. Hati Kelana langsung berdebar kencang.

“Maaf, Lan.. Lama nunggunya?” sapa Pak Donny.

“Baru kok, Pak…”

Baru? Sepuluh menit dia berdiri di resepsionis, sudah ada enam SMS masuk ke ponselnya dari Sasya, yang isinya cuman satu : “Heh, elo dimana?????”

“Ya, sudah. Yuk… Lobby, kan?”

Kelana dan Pak Donny melangkah masuk ke dalam lift yang terbuka di depan mereka. Pak Donny menekan tombol LG lalu dengan seketika suasana menjadi sangat hening, mirip ujian Ebtanas yang semua muridnya rajin belajar dan nggak ada yang mencontek. Kelana takut, kalau-kalau suara detak jantungnya terdengar kencang oleh Pak Donny!

Tidak sampai lima detik, mendadak lift berhenti dan lampunya padam. Karena berhenti mendadak, lift itu seolah terguncang hebat dan membuat isinya terlonjak. Diimbuhi dengan lampu yang padam, suasana seketika menjadi sangat horror!

Kelana yang gampang panik spontan segera berteriak kencang dan memeluk tubuh Pak Donny erat-erat. Dia bahkan mencengkeram kemeja Pak Donny lalu menyusupkan kepalanya di balik ketiak pak Donny tanpa peduli kalau lelaki yang dia peluk saat itu adalah boss-nya, orang yang memberinya gaji setiap bulan, dan orang yang bahkan harum parfumnya saja sudah membuatnya pingsan. Kelana memejamkan matanya sambil berteriak-teriak histeris.

“Lan… Lana… it’s okayeverything’s okayLiftnya sudah bisa berfungsi, kok..” kata Pak Donny. “Coba buka deh matanya….”

Kelana membuka matanya dan menyadari kalau lift sudah bergerak turun, lampu sudah menyala dengan terang…. Sekaligus menyadari kalau dia tengah memeluk tubuh Pak Donny dari belakang!

“Ma…maafff…Paaakkk…”

It’s okay, Lana,” kata Pak Donny sambil tersenyum.

Lift itu bergerak turun sampai ke lobby dan terbuka persis beberapa detik kemudian. Pak Donny keluar lebih dulu dan beberapa saat kemudian dia menoleh ke arah Kelana yang wajahnya masih sulit dibedakan dengan warna kulit udang usai direbus.

“Kapan-kapan lagi, ya, Lan?” kata Pak Donny sambil mengerling nakal.

Kelana hanya terdiam, dengan senyum dan wajah yang salah tingkah. Hatinya makin bergetar di luar kendalinya. Dia berjalan menuju taksi dengan kepala yang penuh dengan pilihan-pilihan skenario yang nggak penting untuk menghadapi Pak Donny, keesokan harinya.

Pertama, dia harus resign dari kerjaannya supaya besok nggak perlu ketemu sama Pak Donny.

Atau dua, dia musti panggil Rommy Raffael untuk menghipnotis pak Donny supaya melupakan insiden di dalam lift lima menit yang lalu itu…

Ow… shit, shit, shit.

Apparently, when shit like this happens, it’s not that easy to just deal with it…

**

Monday, October 19, 2009

Pernikahan Cecil


Langit senja sudah menyentuh ketika Sasya tiba di depan kantor Kelana. Dengan menumpang sebuah taksi berwarna biru, dia menyapa Kelana yang segera masuk ke dalam taksi begitu pintu itu terbuka dan wajah Sasya terlihat di depannya.

Agenda setiap hari Jumat, after office. Dua sahabat itu akan melewatkan waktu di sebuah kedai kopi. Menikmati cangkir demi cangkir kopi yang mereka suka, bercerita panjang lebar tentang Senin-Jumat mereka, lalu cekakak-cekikik di sana sampai pukul sebelas malam. Begitu terus sepanjang minggu.

Yang membuatnya berbeda kali ini adalah Sasya menjemput Kelana di kantor, dengan taksi yang ongkosnya bakal lebih mahal karena kedai kopi tempat mereka biasa nongkrong sambil cekikikan itu terletak setengah kilometer sebelum menuju kantor Kelana. Sasya bisa saja langsung turun di kedai kopi tersebut, tapi dia malah menjemput sahabatnya di kantor.

Kelana tahu, naluri detektif-nya mengatakan, Sasya sedang sinting.

…eh.

Sedang punya rencana lain.

Sesaat setelah Kelana duduk di sebelahnya, Sasya segera mengeluarkan sesuatu dari dalam tas Dior KW1-nya. Sebuah amplop berwarna merah marun dengan pita berwarna kuning keemasan di pojok kanan atasnya. Dari bentuknya, Kelana menduga, it was a wedding invitation.

“Undangan kawin?” tanya Kelana sesaat sebelum amplop itu berpindah ke tangannya. “Yep, undangan kawin,” lanjutnya setelah melihat dengan jelas tulisan ‘wedding invitation’ berikut dengan nama sepasang pengantin yang bahagia; Farid & Cecil. “Mmm… ini Cecil yang temen baik elo sejak kuliah, kan, Sas?”

Sepanjang usia persahabatannya dengan Sasya, Kelana sering mendengar cerita-cerita tentang Cecil begini, Cecil begitu. Maklum, jauh sebelum berteman dekat dengan Kelana karena sempat satu kost, Sasya sudah bersahabat baik dengan perempuan peranakan Jawa dan China yang bermata lebar tapi bertubuh putih bersih itu. Bahkan seringkali, saat mereka berdua meluangkan waktu untuk ngopi di akhir pekan, Cecil juga ikut nimbrung di kedai kopi, tapi memesan teh bunga matahari, kesukaannya.

In short, Kelana kenal siapa Cecil dan sedikit banyak tahu tentang perempuan lajang yang berkarier bagus tapi malas memikirkan soal jodoh itu. Dan sekarang, yang membuatnya kaget tentu saja ketika menimang sebuah amplop undangan pernikahan Cecil yang terkesan mendadak.

“Cecil kawin, Sas?”

Sasya mengangguk. “Seperti yang lo liat di undangan itu, Lan.”

“Farid itu siapa? Kok gue belum pernah denger ceritanya, sih?”

“Meneketehe.. gue belum pernah denger,” sahut Sasya sebal.

“Hah? Lo nggak kenal sama calon suami sahabat elo sendiri?”

Sasya tersenyum kecil. “Gue malah nggak tahu kalo dia lagi pacaran, Lan.”

“Serius?” Kelana membelalakkan matanya. Dia cukup kaget mendengar kalimat itu keluar dari bibir sahabatnya. Kelana jatuh cinta hebat dengan Pak Donny, Sasya tahu persis bagaimana detilnya. Sasya patah hati dengan Raka, Kelana yang menjadi bahu untuk setiap tangis sedihnya. Kalau Cecil, yang di mata Sasya adalah seorang sahabat sejak masa kuliah dulu, yang selalu berbagi cerita tentang apa saja, termasuk soal permasalahan keluarga yang sangat personal, kini malah nggak cerita soal dia pacaran dengan lelaki yang bakal menikahinya, can she still be called as a bestfriend?

“Gue serius, Lan. Dan asal elo tau, dia bahkan nggak cerita kalau dia udah lamaran bulan April kemarin… All those times, kita kumpul-kumpul, ngerokok bareng, cekakak cekikik bareng… dan dia sama sekali nggak pernah niat untuk ngasih tau gue soal rencana nikahnya ini?”

Kelana terdiam.

“Lalu pagi tadi, undangan kawinnya udah nangkring di atas meja gue… tanpa ada SMS atau telepon dari Cecil.”

Kelana melihat mendung menggayut di wajah Sasya yang kemudian berkata, “She is my bestfriend, for God’s sake, Lan. Kenapa dia malah nggak ngebagi kabar ini sama gue? Apa dia udah nggak nganggep gue sebagai sahabatnya, ya, Lan?”

Selang beberapa detik kemudian, mendung itu berubah menjadi gerimis yang turun perlahan membasahi pipi Sasya…

*

Ada beberapa hal yang tidak akan diceritakan Kelana pada Sasya, sahabatnya tersayang, no matter how close they are. Kelana memiliki batasan yang jelas informasi mana saja yang boleh dibicarakan atau dibagi, misalnya tentang aib keluarga, tentang financial security, dan permasalahan yang sedang dihadapi oleh orang-orang terdekatnya. Other than those stuffs, Kelana memilih untuk bungkam.

Not that she doesn’t trust her best friend, tapi Kelana memiliki pemikiran yang sederhana. Dia hanya ingin membagi kabar bahagia saja, dia tidak ingin melibatkan orang lain dalam permasalahannya. Kelana lebih suka cekakak-cekikik dengan sahabatnya, daripada harus bercerita soal ini yang begini, itu yang sedang begitu. Sasya sudah punya permasalahannya sendiri, jadi Kelana memilih untuk menyimpan gundahnya untuk konsumsi pribadi. Ya, tentu saja sampai ia benar-benar tak sanggup menghadapinya sendiri dan butuh pelukan sahabatnya.

“Gue, sih, ngehargai banget prinsip elo yang nggak kepingin ngebagi masalah pribadi lo, Lan…” kata Sasya, saat mereka memutuskan untuk menikmati coffee weekend mereka di kedai kopi yang lain, “But come ooooonnn… elo nggak bakalan diem-diem aja kalo elo dilamar sama orang, kan?”

Kelana menyesap isi cangkir kopinya lalu tersenyum, “Gue pacaran sama cowok aja bakal girang setengah mampus, apalagi kalau ada yang ngelamar gue, Sas…”

“Jangan-jangan lo bikin pengumuman di koran, Lan…” tukas Sasya sambil mengunyah kentang goreng. “Dengan judul headlinenya, Akhirnya Laku Juga!”

“Sialan lo, Sas! Gue emang desperate sih, tapi nggak se-desperate itu laahh…” Kelana mesam-mesem sambil terus menyesap larutan kopinya.

“Tapi, lepas dari ke-hiperbolis-an gue tadi,” kata Sasya setelah puas melihat Kelana ngomel-ngomel. “Gue yakin, elo bakal cerita kalau one day ada cowok yang khilaf mau jadi pacar elo dan nekat kawinin elo, kan?”

“Dan lepas dari elo bilang soal khilaf dan nekat tadi,” tukas Kelana disambut kikikan geli sahabatnya, “Iya banget, gue pasti akan cerita sama elo.”

See?”

Kelana mengangguk. “Jadi elo masih marah sama Cecil, nih?”

“Sangat.”

“Cecil pasti punya alasan khusus kenapa dia nggak cerita sama elo, Sas,” kata Kelana

“Emang ada good reason untuk nggak bilang-bilang soal rencana nikahnya, Lan? Emang ada good reason kenapa dia nggak cerita kalau dia udah dilamar pacarnya? Pacar yang nggak pernah dia kenalin ke gue….”

Kelana terdiam. Dia hanya mengelus lembut punggung tangan sahabatnya, sembari berusaha menenangkan hati sahabatnya, Sasya, yang kini merasa being left out from the game, the game that she thought she was in it… but she wasn’t.

*

Hari Sabtu, pukul setengah delapan malam, Sasya turun dari dalam taksi ditemani dengan Kelana yang malam itu kompak memakai little black dress dengan selendang batik. Meskipun agak merengut, tapi Sasya tetap berangkat juga ke pesta resepsi pernikahan Cecil yang digelar di ballroom hotel JW Marriot. Itupun karena berkali-kali Kelana bilang, “Udahlah, Sas…. Cecil udah niat ngundang elo… Paling tidak, dia pingin ngebagi berita baik ini sama elo, daripada nggak sama sekali, kan?”

Malam itu, Sasya berjalan dengan langkah terseret-seret karena masih menata hati. Kalau Kelana nggak memaksanya, pasti Sasya sudah memilih untuk mabuk aja di Blowfish!

Sampai di lobby hotel, mereka disambut dengan beberapa photo pre-wedding yang dibingkai dengan pigura kayu berwarna keemasan, yang berdiri tegak di sebelah kanan dan kiri tangga yang menghubungkan lantai satu dengan ballroom. Sasya berhenti mengamati foto-foto itu lalu merasa hatinya berdebar.

It was pretty obvious why her best friend never told her anything about Farid, karena apa yang dilihat Sasya telah menjelaskan semua pertanyaan-pertanyaan yang menggantung di dalam isi kepalanya dan membuatnya uring-uringan selama seminggu penuh. Not to mention, air mata yang mengalir deras tanpa kendali setiap Sasya mengingat persahabatannya dengan Cecil sejak mereka masih kuliah, sepuluh tahun yang lalu.

“Jadi, itu yang namanya Farid?” celetuk Kelana, membaca pikiran sahabatnya.

Apparently… yes.”

“Bisa nggak, ini disebut good reason kenapa dia nggak pernah cerita sama elo soal pacar, lamaran, dan akhirnya nikah?”

Sasya tersenyum kecil, sambil menganggukkan kepalanya perlahan.

**

Nama : Farid Samuel

Pekerjaan : Pengusaha Mebel

Usia : 59 tahun

Dan dari bisik-bisik yang didengar oleh Sasya dan Kelana ketika mereka duduk di round table, berbarengan dengan orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya, mereka tahu, kalau Farid Samuel, digosipkan harus menceraikan istrinya yang sudah tua dan meninggalkan anak-anak mereka, demi menikahi seorang gold digger bernama Cecil…

***