Sunday, December 13, 2009

(14) The Power of First Dates


Sasya sedang duduk di teras rumah kost-nya, menikmati majalah fashion yang ada di tangannya, sambil sesekali bibirnya menyesap larutan kopi yang ada di dalam mug berwarna merah bertuliskan merek kopi instan terkenal, ketika sebuah taksi berhenti di depan pagar dan membuatnya mendongakkan kepala.

Sosok perempuan yang sangat diakrabinya menyembul di balik pintu dan berjalan masuk ke dalam rumah, beberapa detik setelah taksi itu berlalu dari depan rumah dan menyisakan bunyi raungan knalpot yang lalu menghilang di tikungan gang. Sasya tersenyum lebar. Hm, she’s dying for the details!

“Lana, my Dear… Silahkan masuuukkkk…” sambut Sasya dengan hiperbolis. Dia merentangkan kedua tangannya, berlagak seolah menyambut seorang Pahlawan yang baru pulang perang.

“Najooonggg…” tukas Kelana dengan muka masam. Dia menghempaskan tubuhnya di kursi teras lalu meluruskan kedua kakinya.

Melihat wajah Kelana yang masam membuat Sasya meletakkan majalah yang tengah ia baca lalu memerhatikan dalam-dalam ke arah sahabatnya. “Something’s wrong?”

Kelana menunduk sebentar lalu mengangkat kepalanya setelah beberapa detik. Dari tempatnya duduk, Sasya bisa mendengar hela nafas Kelana yang menyiratkan sesuatu yang tidak menyenangkan.

“Lan?” Sasya memandang sahabatnya lebih lekat sambil menyentuh punggung tangannya. “Are you OK? Something’s wrong?”

“Everything is wrong,” desah Kelana. “Every little thing is wrong, Sas… Kayaknya, setiap gue deket sama Pak Donny, gue berubah jadi perempuan yang aneh dan menyebalkan…”

“Well, aren’t you, hm?” goda Sasya sambil tersenyum.

“Sasyaaa… gue lagi nggak bercanda…”

“Duh, yang lagi sensi… lightened up, Grams!”

“Gue serius, Sas…”

“Gue juga serius untuk nyuruh elo santei aja dan cerita sama gue. Detil,” tukas Sasya. “Karena buat gue, elo adalah salah satu perempuan yang menyenangkan. Yang mungkin punya pendapat berbeda tapi selalu tahu gimana caranya ngebikin hari suntuk menjadi lebih menyenangkan. You’re one of a kind, Lana. Jadi, gue serius. What the hell happened? Kenapa elo sampai bilang elo berubah menjadi aneh dan menyebalkan lalu bilang everything is wrong?”

Kelana menghela nafasnya.
Di dalam kepalanya, terdapat beberapa fragmen yang melintas bergantian. Adegan demi adegan saat kencannya dengan Pak Donny, beberapa jam yang lalu. First ridiculous date yang mungkin tidak memiliki sekuel. Bagaimana mungkin ada second date kalau semuanya berakhir dengan Kelana menumpang taksi untuk sampai ke kost-nya tanpa mendapatkan tawaran dari Pak Donny? Kalau semuanya berjalan lancar dan menyenangkan, bukankah seorang teman kencan akan menawarkan tumpangan untuk sampai ke rumah, tanpa harus membiarkan seorang perempuan yang beberapa menit yang lalu dikencaninya pulang sendiri, pukul sembilan malam, dengan taksi yang supirnya bisa jadi adalah seorang penculik atau serial killer?

Hiperbolis? Ah. Kelana memang hiperbolis, bahkan lebay is her middle name. Hanya saja, Kelana sulit untuk berpikiran positif tentang acara kencannya tadi. Memang apa maksud Pak Donny dengan diam-diam saja saat mereka berpisah di depan pintu café? Mendadak Pak Donny menyangka kalau tadi Kelana datang ke café dengan membawa batmobile yang bakal menjemputnya dengan otomatis?

“He didn’t offer to drive me home,” kata Kelana akhirnya setelah merangkum fragmen demi fragmen itu ke dalam satu kalimat.

“Itu menjelaskan kenapa elo naik taksi ke kost gue yang cuman beda beberapa gang aja…” Sasya manggut-manggut. “So? What’s the big deal?”

Kelana membelalakkan matanya. “What’s the big deal? Astagah, Sasyaaaa…!”

“Lho, lho. Emangnya kenapa kalau gue ngerasa itu bukan big deal? Apa masalahnya, sih? So, he didn’t drive you home, kenapa itu jadi masalah? Lo biasa naik taksi kan kalau pulang sama gue? Atau, pas elo musti pulang dari entertain klien-klien elo. Biasanya itu bukan masalah, kan?”

“Gue tau, Sas. Gue tau. Biasanya gue emang selalu naik taksi sendiri dan itu bukan masalah gede buat gue. Tapi, helllooowww… biasanya gue kan murni urusan kerjaan atau hang out sama elo… Tadi gue kan kencan, Neng. KENCAN. Harusnya ini beda…”

Sasya tersenyum. “Jadi, menurut lo, harusnya seperti apa, hm? Elo pasti punya skenario romantis ala Hollywood lebay elo, kan? Elo berharap Pak Donny bakal berlaku romantis, tertawa di setiap lelucon elo, memandang elo seolah elo adalah satu-satunya perempuan paling cantik di dalam ruangan, accidentally memegang jemari elo lalu kalian tersenyum malu-malu, dan di akhir kencan, dia bakal bilang kalau he had a great time, I’ll call you, dan itu dia ucapkan di depan pagar rumah elo, kan?””

Kelana terdiam. Dia memeras jari-jemarinya sendiri lalu memandang Sasya.

“Iya, kan, Lan?” tanya Sasya lagi.

Beberapa detik berikutnya, Kelana menganggukkan kepalanya perlahan dan membuat Sasya tersenyum semakin lebar.

“Welcome to the real world, Hollywood Dreamer… It’s maybe tough, but it’s worth living..”

Kelana tersenyum kecut sambil melempar majalah yang ada di meja persis ke tubuh Sasya. Sahabatnya hanya tergelak lalu memeluk bahu Kelana erat-erat sambil berbisik, “But you’re still MY favorite Hollywood Dreamer…”

**

Kencan pertamanya dengan Pak Donny memang tidak terlupakan. Hm, definisi tidak terlupakan di sini adalah it’s too embarrassing to forget. Bagaimana tidak memalukan kalau dari awal sampai akhir, Kelana selalu menciptakan kejutan-kejutan yang memalukan?

Mulai dari potongan daging yang terpental ke kemeja Pak Donny ketika Kelana mengiris daging steak yang rupanya sedikit alot itu dan meninggalkan noda belepotan di sana. Then how about ketika kancing baju Kelana tiba-tiba terbuka tanpa ia sadari dan membuat renda-renda bra-nya terpampang dengan jelas meski lampu-lampu yang tergantung di seluruh ruangan disetel dengan redup. Yang paling memalukan adalah ketika dia tidak sengaja telah menumpahkan isi gelas Pak Donny dan membasahi celananya… and, o-oh, tunggu dulu. Tidak hanya sekadar menumpahkan isinya, tapi Kelana dengan reflek mengambil tissue lalu menepuk-nepuk celana Pak Donny. Ya, persis di bagian… you know what!

Andai Kelana membawa sekopnya, mungkin ini adalah saat yang tepat untuk mengubur dirinya sendiri dan membiarkan semua seperti sejarah yang hilang oleh waktu. Tapi yang ada di genggaman tangannya saat itu hanyalah pisau steak dan garpu yang beberapa jam kemudian membuatnya berpikir, “I should have killed myself with a steak knife!”

Kejadian-kejadian saat kencan tadi terus terbayang di dalam kepala Kelana sampai perempuan itu berbaring di atas ranjangnya, memandangi seluruh ruangan dengan pandangan yang kosong. Yang menyebalkan adalah pandangannya tidak benar-benar kosong, karena mendadak, muncul wajah Pak Donny yang sedang terkaget-kaget saat Kelana membersihkan celananya dengan hebohnya! Oh Tuhan!

“Udah, deh, Lan… Santai aja, napah…” kata Sasya, beberapa menit yang lalu.

“Kali ini gue nggak bisa santai, Sas…”

“Kalo kemarin elo bisa, kenapa sekarang nggak bisa?”

“Karena kali ini, I didn’t just put my arms around his delicious body, Sasya, tapi gue udah… oh my God! I touched his very private and personal possession!”

Sasya tertawa ngakak seperti melihat komedi yang sangat lucu. Membayangkan Kelana dengan lugunya menghapus air yang tumpah di celana Pak Donny jelas-jelas adalah highlight di hari Kamisnya ini.

“Face your own fears, Lana. Seperti yang pernah gue bilang kemarin itu…”

“I’ve faced mine, Sas. Gue nggak yakin bakal bisa melakukannya sekali lagi…”

“Dan terus gimana? Elo bakal bertingkah seperti kemarin? Menghindari Pak Donny seperti dia membawa virus Herpes?”

“Maybe.”

“Elo sadar nggak, sih, kalau sebetulnya elo bisa kencan sama Pak Donny dua minggu lebih awal kalau elo nggak bertingkah najis seperti kemarin itu?”

“Yap.”

“Dan elo mau ngulangin lagi, gitu? Blow the chances that he might ask you for the second date?”

Kelana menoleh kepada sahabatnya sambil berkata, “I just touched his belongings on our first date, by accident, dan matanya melotot kayak gue ini punya perilaku seks yang menyimpang. I don’t deserve the second ones….”

**


Kencan pertama adalah segalanya.

Sebelum kencan pertama dengan lelaki yang paling disukai, biasanya seorang perempuan akan sibuk mempersiapkan diri, mulai dari pakaian apa yang akan dikenakan, tatanan rambut seperti apa yang akan membuat seorang perempuan nampak semakin cantik, list of questions jika sewaktu-waktu kehilangan bahan pembicaraan, dan ya, termasuk mematuhi beberapa klausul yang tidak boleh dilanggar saat kencan pertama.

No onion in the food, bikin nafas bau.

Don’t offer to pay the food, kecuali lelaki itu menunjukkan tanda-tanda kalau dia kekurangan duit di dalam dompetnya.

Do not monopolize the conversations, biasanya lelaki paling sebal dengan perempuan yang mendominasi seluruh pembicaraan dan membuatnya seperti lelaki paling tolol sedunia.

Dan beberapa hal lagi yang sebetulnya sudah dihafal Kelana di luar kepala.
Cuman sayangnya, shit happens. Ada beberapa hal yang lupa dicantumkan di dalam Book of Dating Guidance. Salah satunya adalah, “Kalau gelas itu tumpah, bilang saja kamu minta maaf, jangan langsung dengan reflek mengeringkannya dengan tissue dan ujung-ujung jarimu!”

Buat Kelana, kencan pertama adalah faktor penting untuk menentukan kencan-kencan selanjutnya. Impresi pertama adalah menentukan. Kalau kencan pertama berlangsung menyenangkan, Kelana yakin bahwa itu akan menggiringnya ke kencan kedua, ketiga, dan seterusnya. Tapi kalau kencan pertama ini sudah gagal, tentu saja dia harus menghapus impiannya untuk membuat Pak Donny merasa kalau dia bukanlah perempuan aneh dan layak untuk kembali diajak kencan!

Kenapa Kelana bilang gagal?

Well, banyak sekali tanda-tandanya.

Pertama, Pak Donny nggak bilang kalau malam itu menyenangkan, in fact, dia malah terburu-buru pulang tanpa menawari Kelana tumpangan untuk sampai ke rumah.

Lalu kedua, Pak Donny tidak menelepon atau mengirim SMS yang bertanya apakah Kelana sudah sampai ke rumah.

Dan ketiga… it’s been a week already, dan Pak Donny diam saja! Kelana memang tidak berharap Pak Donny bakal bersikap seperti seorang Kekasih hanya karena pernah mengajaknya kencan, seminggu yang lalu. Tapi setidaknya, Pak Donny bersikap seperti biasa saja, kan? Tersenyum dan menyapa ketika berpapasan, bukannya malah bersikap dingin saat melewatinya, kan? Apalagi saat itu mereka sedang berada di dalam lift yang sama, berdua saja! Oh boy…

Only God knows how she hated her first date.
Kelana malah berharap kalau kencan itu tidak pernah ada. Never!

**

Emma tertawa terbahak-bahak ketika Kelana menceritakannya saat mereka makan siang di sebuah rumah makan, dekat kantor. Siang itu, mereka memutuskan untuk makan masakan khas Makasar, karena letaknya dekat dengan kantor dan dekat dengan potential client yang akan mereka temui dalam satu jam ke depan.

“Jadi pas elo ada di dalam lift, kalian diem aja?”

“Yap. Kayak ada an elephant in the room, jadi kami berdua sama-sama terpana dan diem aja. Padahal gue udah sempet curi-curi pandang, ngehela nafas berkali-kali dengan kenceng banget, lalu berdehem-dehem kayak tenggorokan gue gatel… tapi tetep, dia diem aja.”

“Mungkin dia takut elo bakal megang-megang anu-nya lagi, kali, Lan?” goda Emma. “Pelecehan seksual di lift!” Emma tertawa semakin lebar dan membuat beberapa pasang mata melihat mereka, tapi perempuan muda itu mengabaikannya.

“Emmaaaa! Gue masih pingin makan di siniiii…!”

“Hehe.. maaf, maaf. Abis gue nggak tahan untuk ketawa, deh… Maaffff…” Emma menutup mulut dengan setangkup jemarinya.

“Ya, ya, ya. It won’t happen again, jadi silahkan saja elo ketawa sampai puasss…”

Kelana hendak menyendokkan kuah sup konro ke dalam mulutnya ketika Emma bertanya, “Eh, tapi, tapi, Lan. Mungkin aja Pak Donny nungguin elo yang nyapa duluan?”

Mendadak sendok itu berhenti di udara. “Hah?”

“Nggak usah pura-pura budeg, deh, Lan. Ntar lo budeg beneran.”

“Bukan gitu, Em. Gue cuman nggak yakin kalo pendengaran gue bener…”

Emma tersenyum. “Apa yang lo denger?”

“Mmmm… Pak Donny nungguin gue nyapa duluan?”

“He eh. Elo dapet sertifikat nggak budeg dari gue,” kata Emma sambil terkikik geli.

“Mana ada ceritanya dia bakal nungguin gue nyapa duluan?”

“Siapa tahu, kan, Lan? Siapa tahu aja, malah Pak Donny yang ngerasa elo reject dia atau apa gituh…”

“Elo kayak pelawak Srimulat, Em. Lucu.”

“Hey, jangan sinis gitu, kali, Say…” kata Emma sambil menyeruput es teh manisnya.

“Gue nggak sinis, Em. Gue realistis. Setelah semua yang udah kejadian, I don’t deserve my second date. Mungkin, gue malah nggak berhak untuk punya impian Hollywood seperti yang ada di dalam pikiran gue selama ini, kalau Pak Donny sedang cemas menunggu reaksi gue… Gue udah merusak semuanya di kencan pertama gue. You don’t know how powerful a first date could be. It could melt your feelings down…”

“Dan elo nggak percaya kalau mungkin kejadiannya malah berbalik? Kalau in some reasons, Pak Donny merasa kalau kencan pertamanya sungguh menyenangkan dan nggak terlupakan?”
Kelana menatap Emma dengan pandangan plis-deh-kok-elo-bego-banget-gini-sih.

“Emma.. Dia bahkan diem aja saat kami berdua di dalam lift. What do you expect? Tiba-tiba seorang peri turun, memainkan tongkat ajaibnya, lalu kemudian segalanya berubah?”

“Mungkin aja, Lan,” tukas Emma. “Maybe magic doesn’t happen every day, but it still happens, right?”

Kelana terdiam, mencoba mencerna kalimat-kalimat yang meluncur keluar dari mulut Emma. Susah sekali untuk mengunyah kenyataan kalau keajaiban memang bakal terjadi meski tidak sering. Tapi mungkinkah setelah semuanya ini, Pak Donny masih menganggapnya sebagai perempuan menarik lalu mengajaknya kencan lagi, yang itu artinya the magic does happen?

Duh, bahkan mencoba untuk membayangkan kalau seorang lelaki ganteng seperti Pak Donny bakal mengajaknya kencan pertama adalah sungguh sulit, ini pake acara membayangkan Pak Donny kembali mengajaknya kencan setelah peristiwa memalukan itu. Tidak, tidak, tidak. It’s over. O-V-E-R, OVER.

**

Hari Rabu pertama, bulan berikutnya. Seperti biasa, seluruh sales di kantor Kelana berkumpul di dalam ruang meeting yang terletak di bagian paling belakang, dekat ruang accounting. Emma, Fira, Kelana, dan beberapa rekan kerja mereka sudah duduk dengan rapi di dalam ruang meeting sambil membawa buku agenda, pulpen, dan beberapa berkas untuk bahan diskusi mereka pagi ini. Semuanya sudah hadir kecuali Pak Donny, padahal biasanya Pak Donny selalu datang terlebih dulu sehingga selalu membuat Kelana megap-megap kehabisan nafas ketika masuk ke dalam ruang meeting hanya karena seluruh ruangan sudah penuh dengan aroma tubuh Pak Donny.

“Pacar lo kemana, Lan?” tanya Emma sambil berbisik.

Kelana melotot. “Pacar dari Hongkong? Kencan aja cuman sekali, gimana bisa pacaran, coba?”

Emma terkikik geli. “Jadi belom ada kencan kedua ya, Lan?”

“Ah, gue udah nggak ngarep kencan kedua, Em. Gue cuman berharap dia masih mau nganggep gue ada aja, nganggep gue sebagai perempuan yang bisa dia lihat dan sapa aja… not some kind of invisible ones…”

Tepat ketika Kelana menyelesaikan kalimatnya, sosok Pak Donny muncul dari balik pintu dan membuat hatinya deg-degan. Lelaki pujaannya itu dengan tenang memimpin rapat, membacakan detil-detil pokok pembahasan pagi ini, dan mempersilahkan semua sales untuk membaca review laporan bulanan mereka.

Bergiliran, Fira, Emma, Johan, Satria, Indra, dan semua sales mulai membacakan laporan mereka, tapi ketika giliran Kelana, Pak Donny malah menghentikan meeting bulan ini dan berterimakasih kepada seluruh sales dan melakukan ritual mereka setiap usai meeting; meneriakkan semangat mereka seperti sebuah tim bola basket hendak berlomba.

Kelana tak habis pikir kenapa Pak Donny melakukan ini semua dan tentu saja ini membuat Emma, bahkan seluruh sales di dalam ruangan, menoleh padanya.

“What did I do wrong?” bisik Kelana pada Emma setelah meeting selesai dan Pak Donny telah meninggalkan ruangan, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Emma mengedikkan bahunya. “Maybe you didn’t touch his pee-wee back then. Maybe you touched his monster’s button…”

“Ini keterlaluan, Em. Gue udah prepare mati-matian buat meeting ini sampai lembur segala dan dia berlagak seperti ini? NAJIS!”

“Terus? Elo mau ngapain?”

“Gue nggak bisa diem aja, Em!”

“Ya udah. Samperin aja.”

“Gue samperin dia sekarang!”

“Ya, udah, gih. Samperin sana.”

“Gue samperin!”

Emma menjitak jidat teman baiknya dengan kesal. “Sampe tahun depan elo ngomong bakal nyamperin dia, tapi pantat elo masih nancep di kursi seperti ini, ya Pak Donny nggak bakal tau kalo elo marah sama dia, Lana Bego…”

“Gue samperin aja, kan, Em?”

Emma tertawa lalu mendorong-dorong Kelana untuk berdiri di kursinya.

“Udah, sana, buruan. You have the moment. Manfaatin aja!”

**

Kelana berdiri di depan ruang Pak Donny, menghela nafas berkali-kali, dan memejamkan matanya sebentar untuk mencari kekuatan. Mumpung ada kesempatan untuk membahas soal perilaku aneh Pak Donny dengan alasan pekerjaan, Kelana harus berani masuk ke dalam ruangan dan bertanya pada lelaki yang telah membuat tiga puluh harinya seperti Neraka.

Saat ia mengetuk pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka dan sosok Pak Donny berdiri di samping pintu sambil mempersilahkan masuk. Lelaki itu tersenyum lebar seolah sudah mengetahui kalau Kelana telah berdiri di pintu sejak beberapa menit yang lalu.

“Ada yang ingin kamu bicarakan, Lan?” tanya Pak Donny setelah Kelana duduk.

Kelana menghela nafas. “Seharusnya saya yang bertanya sama Pak Donny. Ada yang ingin Pak Donny bicarakan dengan saya, sampai-sampai saya musti bengong di dalam ruang meeting dan jadi pembicaraan semua orang?”

Pak Donny tersenyum dan membuat Kelana semakin salah tingkah. He maybe is an asshole, but his smile is still delicious!

“Jadi kamu mau tau apa alasan saya?”

“Itu tujuan saya kemari.”

Pak Donny berdiri dari duduknya lalu berpindah ke pinggir meja kerjanya. Duduk di sana sambil memainkan pulpen di tangannya.

“Hmm... okay. Saya akan terus terang sama kamu. Pertama. Saya nggak punya cukup nyali untuk bilang minta maaf sama kamu karena udah membiarkan kamu pulang sendirian malam itu… Seharusnya saya mengantarkan kamu pulang, tapi peristiwa gelas tumpah itu bikin saya grogi setengah mati…”

“Tapi, Pak..”

“Ssh. Dengerin saya dulu, Lan. It’s an order from your Boss,” potong Pak Donny sambil tersenyum.
Kelana membungkam mulutnya.

“Dan kedua… saya nggak tahu bagaimana untuk memulai ngobrol sama kamu setelah kejadian itu… Ini bukan sekadar kamu memeluk saya saat ketakutan seperti di lift waktu itu, Lana.. Ini lebih dari itu.”

Kelana just wish that she had her suicidal device with her right now… Boy, oh, boy, she remembers every little detail of that embarrassing moment…

“Saya butuh momen yang tepat untuk mengajak kamu bicara… Untuk memaksa kamu datang ke saya dan sekaligus memaksa saya untuk berbicara ke kamu soal perasaan saya…”

“…”

“Jadi, Lana.. I dragged you here to my office to let you know that… I DID enjoy our first date. Kamu lucu, menyenangkan, dan saat kamu grogi menghadapi saya, kamu malah keliatan sangat manis…”

“…”

“Took me a month to say this, but… will you please, go out dinner with me this weekend? Ada restoran seafood yang enak banget di jalan Manyar. Kamu nggak alergi sama seafood, kan?”

Kelana masih terdiam. Masih tercengang dengan kata-kata Pak Donny yang sama sekali tidak terduga sebelumnya.

“Lan? Kok diem aja? Kamu sudah ada rencana?”

Saya bahkan bisa menyuruh Badai untuk menunda kedatangannya agar saya bisa kencan lagi dengan kamu, Pak Donny-ku sayang!

“Lan? You okay? Kalau kamu memang ada rencana, ya sudah.. Kita tunda lagi kapan-kapan saja…”

Mendengar kalimat Pak Donny membuat Kelana segera menghentikan aksi melongo-nya yang cukup nista barusan.

“Nope, that’s fine, Pak. Saya nggak ada rencana untuk malam minggu nanti…”

“Hm, baguslah kalau gitu. Then it’s a date…”

Kelana menganggukkan kepalanya sambil berbisik dalam hati, “It’s a second date, Pak. A second date that I swear, if I ruin it, I will let the Devil himself to lead me the way to Hell…”

Saat Kelana keluar dari ruangan Pak Donny, dia melewati kubikel Emma dan menyembulkan kepalanya dari balik kubikelnya.

“Elo inget apa yang gue bilang kapan hari pas kita makan coto Makassar nggak, sih, Em?”

“Yang mana?”

“Tentang the power of first dates?”

“Kenapa emangnya?”

“You know what, ternyata kekuatannya dahsyat banget!”

“Hah?”

“It makes him wants me even more…”

Emma tersenyum.“The magic happens again?”

Kelana ikut tersenyum. “Yap. And I hope that it will happen again this weekend…”

“Ya. Tapi inget…” kata Emma.

“Inget apa?”

“Stay away from his pants, Beibeh!”

Mereka berdua tertawa terbahak-bahak dan membuat beberapa teman mereka menoleh. Kelana tidak peduli sekalipun seluruh dunia melotot heran padanya. Yang ada di dalam isi kepalanya sekarang adalah wajah ganteng Pak Donny saat mengajaknya kencan beberapa menit yang lalu…

Wajah ganteng yang sama, yang akan menjemputnya di depan kost-an, Sabtu malam nanti…

**

Kamar, Senin, 14 Desember 2009, 1.47 Pagi

0 comments: