Tuesday, October 13, 2009

That is... um.... too much?


Ting!

Pintu lift terbuka dan entah berapa pasang kaki yang melangkah keluar dari mesin berbentuk tabung itu. Salah satu dari beberapa pasang kaki yang bergegas masuk ke dalam ruang resepsionis lalu berhenti sebentar persis di depan finger print machine adalah milik Emma, perempuan yang hari ini terlihat chic dengan setelan warna krem muda dengan stiletto berwarna coklat.

"Hey, Gorgeous!" sapa Kelana saat melihat Emma tengah melewati pantry, tempatnya meracik kopi favoritnya. "Tumben jam segini udah dateng?" tanya Kelana setelah melirik ke arloji kecil di pergelangan tangannya. Masih pukul setengah delapan lewat sedikit. Biasanya Emma baru datang menjelang pukul delapan, itupun menurut Emma sudah terlalu pagi dari jam semestinya. Ya, kerja memang dimulai pukul setengah sembilan. Buat Emma, tiga puluh menit lebih awal sudah sangat bagus.

Emma menghentikan langkahnya lalu memilih untuk masuk ke dalam pantry, berdiri di sebelah Kelana yang sudah asyik menyesap kopi susunya. "Abis gue males satu lift sama Poppy."

"Poppy?"

"He eh. Poppy."

"Poppy, Poppy... Poppy kita?"

"He eh. Poppy."

"Poppy-nya Pak Donny?"

"Yaelah, Laaannn... Emang kita punya berapa Poppy, sih? Yang kita berdua sama-sama kenal?"

"Ya cuman satu, sih."

"Nah!"

Kelana berhenti menyesap kopinya lalu meletakkan cangkirnya di meja.


"Kenapa lo males satu lift sama Poppy, hm? Dia doyan kentut?" tanya Kelana asal.

"Ish! Apaan, sih?" Emma mendelik, tapi senyumnya tertahan.

"Terus kenapa?"

"Gue sebel aja sama tingkahnya," kata Emma. "Lo tau kan, kalo dia jadian sama Irwan, anak lantai lima belas?"

Kelana mengangguk.

"Nah, gue benci banget sama APD mereka..."

"Hah?"

"Affection Public Display," jelas Emma.

"Affection.. um, what?"

Emma menggeleng-gelengkan kepala lalu berkata, "Mempertontonkan kemesraan di depan umum, Kelana yang maniiisssss..."

"Owww... I see, I see..."

"O'oh, you don't. Lo nggak pernah jadi saksi kemesraan mereka berdua, kan? Nggak pernah ngeliat langsung gimana mesranya mereka berdua di depan umum, kan?"

Kelana menggeleng.

"Well, better believe me, Lan. Elo bakal mengira kalau mereka sedang syuting sinetron kejar tayang!"

*

Sejak Emma bercerita soal Poppy, Irwan, dan sinetron kejar tayang mereka, Kelana pun berubah menjadi detektif dan menajamkan telinga serta pandangan. Seharian itu, dia mengamati gerak-gerik Poppy. Kebetulan ruangan Pak Donny, boss-nya, tidak jauh dari kubikelnya. Tinggal sekali longokan kepala super panjang seperti jerapah, dia bisa melihat Poppy sedang asyik dengan laptopnya. Ya, Poppy memang satu ruangan dengan Pak Donny.

Itulah kenapa, seharian ini leher Kelana seolah memanjang beberapa senti karena menjadi detektif gadungan. Tapi, ya, hasilnya memang tidak sia-sia. Dari pengamatannya seharian ini, dia bisa mengumpulkan beberapa informasi penting mengenai Poppy dan Irwan.

Pertama, Poppy memang jadi lebih aktif cengar cengir sendiri di balik laptopnya. Belakangan diketahui, dia asyik ber-yahoo messenger dengan Irwan.

Kedua, Poppy menjadi lebih sering mengangkat telepon lalu bergaya lebay. Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar kata-kata romantis berhamburan dari mulutnya yang kecil mungil tapi bawelnya ampun-ampunan itu.

Ketiga dan yang paling penting adalah, benar seperti yang dibilang Emma, beberapa jam sebelumnya. Kemesraan Poppy dan Irwan memang luar biasa dahsyat. Irwan menjemput Poppy makan siang dan menunggunya di ruang resepsionis. Saat bertemu, mereka bertukar cium pipi, lalu Irwan menggamit mesra pinggul Poppy dan berjalan menuju lift. Sepanjang perjalanan mereka turun ke parkiran basement, berkali-kali Irwan mencium belakang kepala Poppy sambil kedua tangannya memeluk Poppy dari belakang. Dan yang lebih seru adalah, semua itu dilengkapi dengan full audio stereo! Ya, kalimat-kalimat penuh rayuan gombal itupun berhamburan keluar dari dua mulut manusia yang sedang dimabuk cinta itu!

Kelana yang sengaja masuk ke dalam lift cuman karena naluri detektif gadungannya kambuh, mendadak ingin mencari kantong plastik karena perutnya langsung terasa mulas! Ayayayay!

*

"Lagian, elo iseng banget sih, ngikutin orang pacaran..." kata Sasya saat mereka bertemu di sebuah acara pemberkatan rumah baru Imelda, teman satu kost beberapa bulan yang lalu menikah dengan seorang lelaki yang sudah menjadi pacarnya selama bertahun-tahun.

"Abis gue penasaran, Sas. Lo kan tau gue ini orangnya suka penasaran..."

"Iyaaa.. Makan, tuh, penasaran lo. Enak, nggak?" Sasya mengedipkan sebelah matanya.

Kelana tertawa. "Yang ada perut gue langsung mules, Sas..."

"Ah, tapi elo juga lebay, sih, Lan. Ngeliat gitu aja nggak perlu sampai mules, ah..."

"Lho, kenapa malah jadi gue yang lebay, sih, Sas? Masa elo nggak ngerasa mules, sih, ngeliat orang yang mempertontonkan kemesraan di depan umum sampai segitunya? Terus, terus, mendengar kata-kata rayuan gombal yang sangat dahsyat... Gue sih mules banget, Sas... Karena buat gue, that is... ummm... too much? Yep. Too much!"

Sasya menggelengkan kepalanya. “Elo punya border line yang sangat spesifik tentang what’s too much and what’s not too much,” kata Sasya sambil menyeruput fruit punchnya. “Dan perbedaan itulah yang bikin gue sama elo akan bereaksi yang nggak sama saat ngeliat temen lo itu sama pacarnya.”

“Aduh, Sas, percaya, deh. Elo bakal bilang too much juga setelah elo ngeliat gimana hebohnya mereka pacaran, kok,” kata Kelana, masih memperjuangkan argumentasinya. “Bayangin aja betapa gombalnya kalau kata-kata cinta itu diomongin terus dari lantai sembilan sampai ke basement? Dari telepon, sms, email, sampai chatting. Gue ngeliat itu udah terlalu hiperbolis, Sas. Dan itu bikin perut gue mules!”

Sasya tersenyum. “Ya, ya, ya. Terserah elo juga, sih, Lan… Mau mules, kek. Ngelahirin, kek. Atau apapun…” kata Sasya, “….tapi yang elo harus tau adalah satu hal.”

“Apa?”

“Kalo misalnya elo yang jadi Poppy, apa elo bakal ngerasa mules seperti yang sekarang elo rasain, nggak?”

“Ummm…”

“Pacar elo menghujani elo dengan kata-kata cinta…”

“Ummm…”

“Pacar elo nelepon, sms, ngajak chatting, mengirim email yang romantis dan lucu…”

“Ummmm…”

“Dan satu lagi.” Sasya sengaja memotong kalimatnya supaya Kelana makin penasaran. “Pacar elo dengan bangganya memeluk elo di depan umum, membisik telinga elo, mengusap rambut elo… in front of the public, yang dengan berarti… the whole world knows that you are his and he’s yours.”

“Ummmm… gimana, ya? Gue, sih, ngerasa itu masih berlebihan… um… iya, that’s still too much for me,” kata Kelana. “Terlalu romantis membuat semua perasaan cinta itu terasa kabur maknanya.”

Well, Darling. Kalau Irwan itu Pak Donny dan Poppy itu elo, ummm... elo masih bilang itu too much?”

Kelana tersedak.

Check mate.

*

Sasya tahu persis tentang this huge crush yang dimiliki Kelana buat Pak Donny, boss-nya yang pintar, berpenampilan sangat maskulin, kaya, dan yang paling utama adalah, masih single. Pak Donny adalah highlight untuk setiap hari Senin sampai dengan Jumat. Sosok ganteng Pak Donny seolah pelangi yang turun setiap hujan. No matter what happens in her life all day long, Kelana tahu kalau senyum Pak Donny bakal membuat hari-harinya ceria lagi.

Suatu kali, Kelana pernah berkata pada Sasya, kalau…

“Seandainya gue bisa jadi pacarnya Pak Donny, nggak kebayang gimana girangnya hidup gue, Sas!”

“Dan nggak kebayang betapa merananya hidup Pak Donny setelah khilaf ngejadiin elo sebagai pacarnya…”

“Reseh lo…”

“Iya, deh… Terus, terus… kalo seandainya itu kejadian beneran, gimana?”

“Ya, gue girang, lah!”

“Yakin lo bisa girang? Jangan-jangan elo malah senewen karena pacar elo banyak yang suka…”

“Itu pasti, sih… Tapi, gue bakal bilang ke seluruh dunia kalau Pak Donny tuh pacar gue… dan nggak ada yang boleh ganggu pak Donny.. beware of the dangerous girlfriend…

“Elo bakal nempel terus ke Pak Donny, dong?”

“Pasti!”

Anytime, anywhere?”

If I must!”

Mengingat kalimat-kalimat konyol yang pernah diucapkannya pada Sasya, dulu sekali ketika beberapa bulan pertama setelah masuk kerja di perusahaan Advertising milik keluarga Pak Donny ini, Kelana tersenyum-senyum sendiri. Memang, seperti yang dibilang Sasya saat terakhir bertemu di rumah baru Imelda, besar kemungkinan dia akan lengket bak perangko dengan amplop, sama seperti Irwan dan Poppy saat ini.

Ya.

Saat ini, Kelana sedang berada di dalam lift yang akan membawanya ke lantai sembilan, tempat ia bekerja. Dia berdiri di sudut lift sehingga dengan bebas menyaksikan syuting kejar tayang sinetron dengan dua pelakon utama; Irwan dan Poppy.

Irwan tampak mengelus rambut Poppy dengan sayang, dan bahasa tubuh Poppy seolah mengisyaratkan perasaan yang sama. Berulangkali Irwan berbisik pelan di telinga Poppy, lalu gadis itu terkikik geli lalu mencubit pinggang Irwan dengan lembut. Begitu terus sampai pintu lift itu terbuka di lantai sembilan dan Kelana melangkahkan kaki keluar dari sana.

Anehnya, kali ini, perutnya tidak lagi merasa mulas atau menganggap tontonan tadi adalah hal yang hiperbolis. Dia malah asyik tersenyum sendiri sampai-sampai Emma curiga dan menghentikan langkahnya.

“Heh, lo kenapa senyam senyum sendiri? Gila?”

“Enak aja…”

“Terus kenapa? Lo geli, ya, karena tadi satu lift sama Poppy? Gue lihat elo keluar lift barengan tadi… Lo pasti begini karena ngebayangin mereka yang lebay itu, kan?”

“Nggak, tuh…”

“Lah? Terus elo kenapa senyam senyum kayak gini, Lan?”

Kelana memandang Emma sambil terus tersenyum dan mencubit kedua pipi Emma dengan gemas, sampai-sampai perempuan cantik itu berteriak cukup histeris.

Tapi Kelana tidak peduli.

She just smiled.

Dan senyum itu terus terulas di bibirnya, sampai bayang-bayang Pak Donny menghilang dari pikirannya…

Bayang-bayang Pak Donny tengah memeluk pinggangnya, mencium belakang kepalanya, dan berbisik lembut di telinganya, mengatakan kalau hari ini dia terlihat sangat cantik…

Ah, senangnya... ^_^

0 comments: