Saturday, October 10, 2009

Tau Diri, Napah?!


Uhuk-uhuk!

Kelana-pun terbatuk-batuk ketika kepulan asap rokok berebut masuk ke dalam kedua rongga hidungnya yang lumayan over size. Segera dia beranjak dari kursinya lalu berpindah persis ke sebelah Sasya sambil berkata, “Sas, asepnya ke gue, nih. Tuker tempat, ya?”

Sahabatnya itu pun berpindah ke kursi yang sebelumnya diduduki Kelana, sebelum tragedi asap rokok yang membuat hidung Kelana megap-megap mencari udara bersih.

“Sori, sori, apa gue matiin aja, Lan?”

“Nggak, Sas, nggak usah dimatiin. Gini aja udah beres, kok. Anginnya nggak ke arah gue… Cuman masalah posisi aja,” kata Kelana sambil tersenyum.

Tapi Sasya tetap memilih untuk mematikan rokoknya dengan cara menekan ujung racun nikotin itu di dalam asbak. Rokok yang sukses membuat Kelana terbatuk-batuk itu pun mati muda, karena ujungnya masih terbakar sedikit tapi dia sudah keburu menghuni asbak, menemani beberapa putung rokok yang sudah habis dihisap Sasya, satu jam sebelum Kelana sampai di kedai kopi favorit mereka.

“Kok dimatiin, Sas? Nggak apa-apa, lagi… Kan gue udah bilang, ini cuman masalah posisi aja,” kata Kelana dengan perasaan nggak enak.

“Santai, Lan… Gue juga udah habis tiga batang sebelum lo dateng. Udah cukup, lah!”

“Serius bukan karena gue, kan?”

“Hayah, GR lu!”

Lalu kedua perempuan yang bersahabat itu tertawa kecil dan mulai mengobrol, atau tepatnya, um, bergosip. Mulai dari selebritis, politik, sampai warung di depan kost Sasya yang kini mulai mengembangkan bisnis menjadi tukang jual pulsa elektrik.

Same old, same old.

Gosip yang hangat. Cekakak cekikik yang mendominasi ruangan. Dua cangkir latte. Tidak ada yang berbeda dengan pertemuan-pertemuan Kelana dan Sasya setiap akhir pekan usai pulang kantor, kecuali malam ini, tidak ada lusinan puntung rokok yang memenuhi asbak di meja mereka.

Malam itu, cukup empat batang saja.

Ya, dengan satu batang yang masih terbakar sedikit di ujungnya.

*

Sasya memang perokok berat. Bibirnya yang mungil (tapi cerewetnya minta ampun) itu berwarna merah kehitaman, sehingga Sasya selalu sibuk mencari warna lipstick yang bisa menyamarkan warna bibir aslinya. Perempuan cantik itu memang terbiasa mengkonsumsi racun nikotin hampir sebungkus perhari. Kalau lagi suntuk, bisa lebih dari sebungkus, malah. Dengan alasan, “Rokok bikin gue tenang.”

Ya, ya, ya. Terserah Sasya juga, sih. Dia adalah perempuan dewasa yang tahu persis soal segala resikonya. Kalau memang dia memilih untuk menjadi perokok berat, jelas itu bukan urusan orang lain.

Termasuk Kelana, sahabatnya yang bereaksi hiperbolis terhadap asap rokok. Sesak nafas, mood anjlok, dan bawaannya pingin nyolot aja.

“Lo benci banget sama asap rokok, ya, Lan?” tanya Sasya saat mereka berjalan menuju lift untuk turun ke basement, mencari taksi.

“Aih, masih ngebahas yang tadi, nih? Aduh, bukan maksud gue untuk nyinggung elo, ya, Sas…”

“Bukan, bukan. Gue nggak tersinggung, Lana Sayang. Cuman, gara-gara tadi, gue langsung inget pas elo ngamuk-ngamuk di angkot gara-gara ada orang ngerokok di sebelah elo…”

Suatu Sabtu siang, entah beberapa bulan yang lalu, Kelana berencana untuk membeli keperluan bulanan di supermarket yang jaraknya cukup ditempuh dengan sekali angkot. Siang itu cukup panas, matahari bersinar cukup kejam sehingga membuat Kelana cukup gerah di dalam angkot yang sudah penuh sesak dengan penumpang itu. Berkali-kali dia berusaha untuk membuka kaca jendela yang ada persis di belakangnya, tapi ternyata, jendela itu tak juga bisa dibukanya. Terpaksa, Kelana berkomat-kamit saja dalam hati, berdoa supaya bisa segera sampai di tujuan.

Perjalanan masih sepuluh menit lagi ketika angkot berhenti untuk menaikkan satu penumpang lagi; seorang lelaki bergaya masa kini yang mungkin merasa dirinya paling ganteng sedunia akhirat. Dengan petantang petenteng, lelaki itu masuk ke dalam, duduk persis di sebelah Kelana, lalu… o’oh! Lelaki itu mulai merogoh saku kemejanya, mengeluarkan sebatang rokok dari sana, dan mulai membakar ujung rokoknya dengan gaya sok jagoan!

Siang itu, panasnya minta ampun.

Kaca jendela, kompakan nggak bisa dibuka sehingga angkot yang penuh dengan penumpang itu terasa makin gerah saja.

Dan ditambah dengan asap rokok yang berputar-putar saja di dalam angkot…

AH!

BUNUH AJA GUUUEEE!!!!

“Yang gue sampe maki-maki itu orang dan dia malah balik marah-marah ke gue itu?” Kelana memang akhirnya bertengkar dengan si Jagoan itu, setelah sudah meminta dengan baik-baik untuk mematikan rokoknya, eh si Jagoan malah menantang dan berdalih kalau dia sedang berada di fasilitas umum, serta tidak ada tulisan Dilarang Merokok di dalam angkot.

“Iya, yang itu. Emang berapa kali elo berantem gara-gara rokok?”

“Banyak!” Kelana tertawa. “Gue emang sebel sama asap rokok.”

“Tapi kenapa elo ngebiarin gue ngerokok di depan elo, dong, Lan?”

“Ummm… beda, lah.”

“Bedanya?”

“Elo ngerokok di tempat yang sewajarnya. Di kedai kopi yang emang ngebolehin orang untuk merokok. Dan pas gue minta tolong untuk pindah posisi karena asepnya lari ke gue, elo bersedia tanpa banyak cingcong.”

“Ooo…”

“Gue paling sebel kalau si perokok tuh nggak kooperatif, Sas. Misalnya di angkot, sekalipun itu fasilitas umum, tapi mbok ya tahu diri gitu… Udah tau cuaca lagi gerah banget, nggak ada angin lewat sama sekali, dan lo tau? Seluruh penumpang pada batuk-batuk gara-gara cowok gebleg itu merokok. Kalo semua udah bereaksi seperti itu, dia mustinya tau diri, kan, bukannya malah sewot pas gue minta baik-baik untuk matiin rokoknya?”

“Umm… iya juga, ya, Lan?”

Kelana menggamit tangan Sasya. “Udah ah. Nggak usah dibahas lagi. Yuk, lift-nya mumpung lagi kebuka tuh!”

Dan kedua perempuan itupun berlari-lari menuju ke lift.

*

Kelana memang bukan pembenci perokok. Yang dia benci adalah perokok-perokok yang tidak tahu diri. Jenis perokok yang tetap merokok di dalam ruangan sempit dan gerah, jenis perokok yang tetap merokok ketika berada di ruangan ber-AC, jenis perokok yang tetap merokok padahal tengah duduk di sebelah ibu yang sedang menyusui anaknya, jenis perokok yang sudah diminta dengan sopan untuk mematikan rokoknya karena seseorang alergi menghisap asapnya tapi dia malah ngamuk-ngamuk… Ya, jenis perokok yang semacam itu yang paling Kelana benci.

Perokok yang nggak tahu diri.

ORANG yang nggak tahu diri.

Kalau sudah bertemu dengan jenis perokok seperti itu, segala macam ilmu bela diri yang dikuasai Kelana sejak sekolah dasar berusaha diingatnya kembali, siapa tahu bakal dibutuhkan kalau perokok itu ngamuk dan mulai kurang ajar padanya! J

Tapi memang, Kelana bukan sembarang jagoan yang mau berantem dengan siapapun tanpa alasan yang pasti. Tidak semua perokok dibencinya. Apalagi dengan pekerjaan Kelana sebagai Sales tentunya memungkinkan perempuan itu untuk bertemu dengan orang-orang dari berbagai status sosial, hobby, kebiasaan, usia, dan lain-lain. Tidak sedikit kliennya yang merokok saat mereka tengah berdiskusi mengenai project design terbaru mereka, tapi Kelana tidak keberatan. Kenapa? Selain karena dia membutuhkan tanda tangan kontrak untuk menebalkan kocek perusahaannya, biasanya, kliennya itu cukup tahu diri untuk tidak merokok di tempat-tempat yang tidak semestinya, seperti tadi. Nggak mungkin juga Kelana ngamuk-ngamuk dengan seorang klien yang bakal memberinya komisi gedhe di akhir bulan cuman karena Kelana sebel dengan perokok yang merokok di sebuah kedai kopi yang semuanya juga asyik dengan selipan batang rokok di jari-jemari masing-masing, kan?

Kelana cuman sebel sama orang yang nggak tahu diri.

Lain dari itu, merokoklah sampai paru-paru kalian sesak… terserah!

*

Suatu siang, Kelana menumpang sebuah angkot lagi. Kali ini, dia duduk di depan, persis di samping pak Kusir, eh, pak Supir. Matahari sedang terik-teriknya ketika Kelana memilih untuk duduk di depan saja, karena beberapa saat sebelum masuk ke dalam, dia sempat melirik ke seorang penumpang yang duduk di belakang, sedang asyik menghisap rokok dengan santainya.

Oh, no! Males banget!

Kelana pun duduk di depan, merasa sangat aman dari serbuan asap rokok dari mulut perokok di belakang. Belum sampai lima menit, mendadak supirnya merogoh kantung bajunya dan mengeluarkan bungkus rokok dari dalamnya. Mengeluarkan sebatang racun nikotin dan mulai sibuk mencari lighter dari saku yang sama. Seperti film yang dibuat dalam adegan lambat, fragment demi fragment kejadian itu berlangsung begitu detil dan dramatis. Ujung rokok itu terbakar dengan sempurna dan asapnya pun mulai mengepul keluar dari mulut dan hidung Pak Supir.

Kelana ingin berteriak histeris, namun apa daya, dia menyadari kalau dia tidak memiliki kuasa apapun untuk menyuruh Supir mematikan rokoknya. Kalau Kelana nekat menyuruhnya, cuman ada dua pilihan beresiko tinggi yang bakal dia hadapi: (A) Pak Supir mematikan rokoknya dengan patuh dan senyum dikulum, lalu (B) Pak Supir dengan kejamnya menyuruh Kelana turun di pinggir jalan, sementara uang tunai di dalam dompetnya hanya tersisa lima ribu Rupiah.

Saat itulah, Kelana hanya diam saja, mencoba menahan nafas, lalu berusaha membayangkan kelinci berlarian bebas di dalam kepalanya. Picture your favorite things supaya bisa mengalihkan kekesalan, kata film The Sound of Music yang sering dia tonton di masa kecilnya.

Kelinci-kelinci di dalam kepalanya itu sudah mulai kecapekan ketika akhirnya Kelana sampai juga di depan sebuah Mal di pusat kota. Tiga puluh menit berlari-lari di dalam kepalanya… no wonder kelinci-kelinci itu akhirnya bersorak girang karena bisa beristirahat juga!

Kelana mengangsurkan selembar lima ribu ke supir angkot yang masih merokok itu, lalu menunggu kembaliannya. Persis ketika supir angkot menyerahkan uang kembalian, asap rokok memenuhi muka Kelana dengan tanpa ampun.

Grrrhhhh!

*

Sejak saat itu, Kelana membuat satu tambahan perkecualian untuk perokok yang tidak akan menjadi korban maki-makiannya.

Dia tidak boleh memaki perokok, jika…

1. Perokok itu merokok di tempat-tempat yang semestinya, suasana mendukung, dan yang lainnya tidak keberatan

2. Perokok itu tidak marah kalau diminta baik-baik untuk tidak merokok karena beberapa orang merasa terganggu dengan asap rokoknya

3. Perokok itu adalah klien yang bertanggungjawab untuk memenuhi rekening bank-nya setiap akhir bulan, dan…

4. Perokok itu adalah supir angkot yang biasa membawanya kemana saja kalau sedang bokek.

Memang bukan hanya perokok saja yang musti tahu diri. Orang-orang semacam Kelana, yang sekalipun sebel setengah mati dengan perokok tapi tetap membutuhkan orang itu, juga musti tahu diri.

Ya, ya, ya.

Kecuali Kelana sudah tidak membutuhkan uang tambahan untuk jajannya di kedai kopi setiap akhir pekan…

Dan…

Sudah berani naik motor atau punya duit untuk beli mobil!

Kalau masih tergantung dengan angkot dan duit dari klien, sih….. tau diri, napah, Lan? *kedip-kedip* :)

1 comments:

hasian cinduth said...

paling sebel juga ma perokok yang mengepul-ngepulkan asapnya di tempat umum...

*pengen nimpuk!!!