Tuesday, October 6, 2009

Ramalan Bintang


Untuk karyawan-karyawan yang dari Senin sampai Jumat menjadi kuli di sebuah perusahaan yang memeras bukan hanya keringat, tapi mungkin juga darah sekalian, pengumuman dari mulut Sasya, sang Sekretaris, adalah hal yang ditunggu-tunggu, apalagi kalau mulut bawelnya mengulum senyum sebelum mengucapkannya di depan teman-teman kantornya.


“Eh, Boss cuti lho…”

“Berapa lama?”

“Seminggu!”

Dan biasanya, kalau sudah mendengar kata ‘cuti’ apalagi ‘seminggu’, sorak sorai manusia di perusahaan pelayaran itu langsung membuat gedung tiga lantai itu seolah bergetar bak gempa bumi skala kecil. Sasya dianggap sebagai pahlawan karena menyampaikan berita yang membuat teman-temannya bisa agak bernafas sedikit dalam satu minggu ke depan. Bukan cuman bernafas, tapi juga bisa jalan-jalan di waktu yang tidak semestinya, bisa bebas ngerujak sambil cekikikan, nonton dvd di ruang rekreasi… kapanpun! Seenak perut mereka! Pamit market terus langsung ngabur ke mal atau bahkan nyungsep di pulau kapuk? Monggo, silahkan saja!

Itulah kenapa, kalau tiba-tiba muncul sosok si Bawel menantinya di lobby gedung kantornya, di jam-jam tidak lazim, Kelana tahu, boss si Bawel sedang cuti.

“Ngopi, yuk, Lan?”

“Di mana?”

“Di deket sini aja, deh…”

“Ummm… okay. Tapi tunggu, gue ajak Emma juga, ya? Boleh?”

Sasya mengangguk. Kelana segera mengeluarkan ponselnya dari dalam tas lalu mulai menekan tombol speed dial, dan berbicara sebentar dengan Emma. Nggak sampai lima belas detik, Kelana menyudahi pembicaraannya dan memasukkan kembali ponselnya sambil memberi kode pada Sasya untuk segera berangkat saja.

“Emma nggak ikut?”

“Nggak.”

“Kenapa?”

“Nggak boleh, katanya.”

“Hah? Sama si Boss? Kok elo boleh sih, Lan? Jangan-jangan elo simpenan si Boss, ya?”
Kelana mendelik.

“Heh, Bawel! Denger ya? Pertama, gue bukan simpenan si Boss, walaupun gue pingin banget sekali-sekali kencan sama Pak Donny yang ganteng itu. Lalu kedua, please deh. Yang nggak ngebolehin itu bukan si Boss, kaleee…”

“Lah, emang siapa yang nggak ngebolehin? Ada gitu yang lebih powerful ketimbang boss elo yang yummy itu?”

“Apparently, ada.”

“Huah? Serius? Siapa? Emaknya Boss elu?”

“Bukan, bukan.”

“Terus? Siapaaaa…???”

“Ramalan bintang…”

*

Emma atau Emilia Adjani. Perempuan kelahiran Solo, dua puluh tujuh tahun yang lalu, dengan rambut lurus sebahu, tubuh kecil mungil mirip upil, yang hobi memakai stiletto untuk menyamarkan tubuhnya yang cuman setinggi seratus lima puluh senti itu memang perempuan paling trendy di kantor advertising, tempat Kelana bekerja menjadi salah satu Sales andalan. Keturunan dari keluarga kaya, penerus perusahaan keluarga yang memilih untuk menjadi seorang Sales ketimbang jadi Direktur, dan lulusan S2 sebuah universitas luar negeri, membuat Emma dikenal sebagai perempuan yang memenuhi standar sebagai perempuan yang sempurna.

Kelana sih mengakui kalau partner in crimenya itu adalah perempuan yang sempurna, tapi satu hal yang membuat Kelana sedikit ilfeel adalah kepercayaan Emma pada ramalan bintang, ramalan kartu Tarot, ramalan daun teh… ramalan apa saja!

Lulusan graphic design dengan IPK yang hampir sempurna itu tidak seharusnya mempercayai hocus pocus seperti itu. For God’s sake, seharusnya dia lebih pintar dari itu.

“Gue penasaran sama majalah yang elo baca kemarin sore, Em,” kata Kelana saat esok paginya mereka bertemu di dalam lift menuju lantai sembilan, letak kantor mereka.

“Kenapa? Lo penasaran sama apanya? Bukannya lo udah baca, Lan?”

“Iya, gue udah baca…”

“Terus, lo penasaran apanya?”

“Gue penasaran sama ramalan bintangnya, Em.”

“Hihi, pasti gara-gara kemarin gue nggak mau ikutan kabur, ya?”

Rupa-rupanya, ramalan bintang di majalah wanita yang kemarin Emma baca mengatakan kalau:
Umum : Anda harus memiliki pendapat sendiri, tebalkan telinga dan teguhkan hati.
Keuangan : Sudah waktunya Anda mengerem kebiasaan-kebiasaan yang tidak perlu. Sebaiknya Anda mulai menabung supaya tidak terlalu tergantung pada orang lain.
Asmara : Jodoh Anda sudah dekat. Mungkin malah rekan sekerja!


“Nah, gimana gue nggak percaya, coba?” kata Emma setelah Kelana selesai membaca ramalan bintang menyebalkan itu di balik kubikel Emma. “Elo kan tau, selama ini gue seneng-seneng melulu, ngabisin duit gaji, belanja ini itu, tapi tetep Bokap gue nyuntik dana tiap bulan ke rekening gue? Iya, kan?”
Kelana mengangguk.

“Terus soal gue musti memiliki pendapat sendiri, umm.. kemarin gue coba untuk nggak ngikut elo kabur ke Starbucks, kan?”

“Aih!” Kelana mendelik.

“Eh, tunggu, tunggu. I’m not done,” potong Emma. “Dan yang terpenting adalah… siapa tahu, kalau gue lebih banyak stay di kantor, gue bakal nemu jodoh gue sesuai yang dibilang di ramalan bintang ini!”

“Astagah!”

“Duh, Lan, siapa tahu gue emang beneran ketemu jodoh!”

“Emmaaaa… elo sakit, tauuuukkk!”

“Biarin!

“Sakit!”

“Bodo!”

*

“Elo percaya ramalan bintang, nggak, sih, Sas?”

Di suatu siang yang panasnya menyengat, Kelana memilih ‘ngadem’ di kantor Sasya. Capek juga beredar sendirian tanpa Emma, karena ramalan bintangnya minggu ini membuatnya betah menunggu jodoh di dalam kubikel dua kali satu meter itu.

Minggu tanpa Boss itu belum berakhir, sehingga dengan santainya Sasya mengajak Kelana untuk minum kopi gratisan di ruang rekreasi sambil menonton film Benjamin Button yang disetel oleh Rima, dari bagian Accounting.

Usai menuang cairan kopi dari coffee maker, Sasya duduk di sebelah Kelana, di sebuah sofa empuk berwarna merah marun.

“Tadi elo nanya apa? Soal ramalan bintang?”

“Iya, elo percaya, nggak?”

“Hmmm… sometimes.”

“Oh ya? Kapan elo percaya, kapan elo nggak percaya?”

“Pas ramalannya bagus, gue sih percaya banget,” kata Sasya, “tapi kalau jelek, gue sih bakal bilang, ‘alah, namanya juga ramalan bintang!’… gitu sih,” lanjutnya.

“Lah, terus buat apa elo percaya kalau cuman ngambil yang bagian senengnya doang?”

“Buat fun aja kali, Darling… Gue sih cuman buat maenan aja.. Yang jelas, bukan kayak Emma sinting itu yang percaya banget sama ramalan…”

“Dia, sih, emang sinting, Sas. Gue udah baca ramalan bintangnya dan emang, kalau orang percaya banget sama kata-kata ramalan bintang, wajar banget dia nggak ikutan kita ngopi-ngopi waktu itu…”

Sasya tersenyum. “Nah, ramalan bintang itu bukan untuk dimasukin ke hati, Lan.”

“Maksud lo?”

“Umm… gini, gini. Ramalan bintang, pada intinya, kan, cuman untuk membuat kita hati-hati, bukan terus lantas jadi harga mati. Tergantung orang mau menafsirkannya seperti apa. Terlalu percaya juga nggak baik, bukannya kita hati-hati, malah ketakutan sendiri sama ramalan yang belum tentu kejadian beneran…”

“Iya juga, sih…”

“Dan satu hal lagi, cara menafsirkan sebuah kalimat itu bisa macem-macem. Menurut ramalan elo harus begini, eh, ternyata elo menafsirkannya beda. Nah, kalau begitu, bisa panjang banget urusannya, kan?”

Kelana mengangguk. “Jadi, ramalan itu bukannya omong kosong, ya?”

“Ramalan itu bisa bener juga, Lan, tapi sejauh mana elo tergantung sama hasil ramalan, itu sih urusan elo…”

Cangkir kopi di tangan Kelana mulai dingin. Karena keasyikan ngobrol, dia sampai lupa untuk menyesap kopi yang aromanya harum setengah mati itu. Duh, selalu saja lupa waktu kalau sedang ngobrol dengan Sasya!

*

Pukul sebelas siang, masih di minggu yang sama, telepon di mejanya bordering. Dari nadanya, Kelana tahu kalau itu adalah telepon internal. Paling juga si Emma, yang setiap menjelang jam makan siang selalu ribut menanyakan mereka akan makan siang di mana.

“Lana…”

“Lan, ini Emma.”

See? Tidak perlu menjadi Mama Lauren untuk tahu siapa yang menelepon setiap jam sebelas, hari Senin sampai Jumat.

“Ya, Em? Nanti kita makan di kantin aja, ya… Gue repot banget, ada laporan yang musti gue serahin ke Pak Donny…” cerocos Kelana.

“Eh, eh, eh, gue nggak mau nanya soal itu, kok,” kata Emma.

Ups! Rupanya memang harus menjadi Mama Lauren untuk tahu kenapa Emma menelepon kali ini, karena Kelana langsung mengernyitkan dahi. Tumben-tumbenan Emma tidak menanyakan soal agenda kencan makan siang mereka.

“Terus?”

“Gue cuman mo bilang, kalau hari ini, elo makan siang sendirian, ya, soalnya gue mau makan siang sama yang laen…”

Dari nadanya sih, Kelana bisa menebak kalau Emma sedang tersenyum di ujung telepon.

“Emang lo mau kemana? Kok elo selingkuh dari gue, sih, Emmm?”

Emma tertawa. “Duh, Lan… Gue masih demen cowok, kali…”

“Uhui, jadi ceritanya ada kencan makan siang, nih? Siapa cowok yang apes itu?”

“Sialan lo!” Emma terkikik geli. “Lo tau Indra, kan?”

“Anak baru itu?”

“Iya.”

“Jadi elo kencan sama Indra?”

“He-eh.”

“Gimana ceritanya?”

“Ceritanya panjaaaannngg banget. Kapan-kapan aja gue cerita, ya? Intinya, sih, dia mendadak kirim email, nanya gue ntar makan siang di mana, dan bilang kalau siang ini dia pingin ngajak gue makan siang di resto favoritnya!”

“Serius?”

“Serius banget!”

“Wah… Bener juga ramalan bintang elo kemarin itu, ya, Lan…”

“Yap! Jadi, Nona-Yang-Tidak-Percaya-Dengan-Ramalan…. Sekarang elo masih ngetawain gue yang terlalu percaya sama ramalan bintang di majalah?”

*

Pulang dari kantor, Kelana mendadak mampir sebentar ke sebuah kios majalah, lalu membeli majalah wanita yang biasa dibeli Emma setiap minggu. Sampai di kamar kost, Kelana langsung membuka halaman Ramalan Bintang dan membaca ramalan untuk bintang Aquarius, minggu ini.

Umum : Nggak ada salahnya untuk mengubah pendirian. Terkadang, bersikap fleksibel itu perlu.
Keuangan : Biasa-biasa saja. Masih bisa kok buat bersenang-senang ke kedai kopi favorit.
Asmara : Iri dengan seorang teman yang kini sudah mulai punya gandengan? Bagaimana kalau mencari pacar sendiri? Datangi saja tempat favoritmu dan pasang mata lebar-lebar!


Kelana mesam-mesem.
Kalau ramalannya begini, gue musti percaya atau nggak, ya?

0 comments: