Thursday, October 15, 2009

Sepasang Sepatu di Atas Rak


Suara jeritan anak-anak kecil yang sedang asyik berlarian di sebuah rumah makan membuat wajah Sasya berubah masam. Apalagi, anak-anak kecil itu sempat berlari di dekat mejanya dan menyenggol tepi mejanya sehingga gelas es teh manis Sasya hampir saja jatuh tergelincir. Untung perempuan itu sigap menangkap gelas itu sebelum jatuh, sehingga tidak terjadi tragedi gelas pecah berikut dengan teriakan dramatis Sasya yang cenderung hiperbolis.

Melihat wajah masam sahabatnya, Kelana hanya tersenyum sambil mengunyah pangsit gorengnya. Dia tau persis soal Sasya yang sangat benci dengan anak kecil. Bertahun-tahun menjadi sahabatnya, membuat Kelana tahu kalau Sasya menganggap anak kecil adalah disaster, not some cute little fellows yang bikin hidup lebih menyenangkan.

"Duh, emaknya kemana aja, sih? Masa anak-anaknya dibiarin keliaran kayak gini?" Sasya mulai mengomel. Rupanya dia sudah nggak tahan untuk nggak berkomentar.

"Lo mau tau emaknya ada di mana?" tanya Kelana. "Tuuuhhh.... di meja yang sono, noh..." katanya sambil menunjuk salah satu meja di bagian depan. "Mau lo samperin terus lo maki-maki, gitu?"

"Lo malu nggak, kalo gue ngamuk-ngamuk di sini?"

"Um, gimana kalo gue selesein makanan gue dulu, terus gue bayar, terus gue minggat agak jauhan dikit dari sini.... baru elo boleh ngamuk-ngamuk. How?"

Sasya tersenyum. "Semprul! Enak di elo, nggak enak di gue, kali.."

"Lah, suruh siapa elo ngomel-ngomel nggak penting di sini?"

"Eh, ini penting lagi, Lan..."

"Pentingnya?"

"Gue bilang penting, karena menurut gue, ini adalah rumah makan. Public place. Dimana orang pingin makan dengan santai, tanpa perlu ditambah dengan gangguan jeritan anak-anak kecil dan kuatir kalo gelasnya bakal kesenggol dan pecah..."

"Alah, Sas, Sas... Itu sih bukan masalah public place doang, tapi itu personal opinion elo, Sas..."

"Maksud lo?"

"Hey, Gaaalll... Bukan rahasia lagi kalo elo benci banget sama anak kecil, kan?"

Sasya tertawa. "Dan emang bukan rahasia lagi kalo anak kecil itu emang nyebelin!"

*

Buat Sasya, yang namanya anak kecil itu, adalah Iblis berpakaian Malaikat. They look so delicate, adorable, cute, and funny, tapi sesungguhnya deadly, annoying, and toxic. Jangan harap Sasya bisa berbasa-basi dengan seorang anak kecil yang memandangnya dengan bola mata bulat jernih, atau bertanya, “Siapa namanya?” saat ada seorang anak kecil yang lucu banget sedang berada di gendongan ibunya. Tidak, tidak. Sasya bukan orang yang seperti itu. Dia tetap keukeuh pada pendiriannya : Kids are toxic, better beware and stay away.

Dan pemikiran ini yang selalu membuat Kelana geleng-geleng kepala karena dia justru menganggap anak kecil adalah sebaliknya. Cute, adorable, and funny. Malah, setiap melihat kedua bola mata anak kecil yang jernih memandang ke arahnya atau melihat seorang anak tertidur pulas dengan damainya, perlahan-lahan perasaan kesalnya hilang atau moodnya yang sering naik turun itu kembali stabil.

Kelana loves…. um, adores kids very much. Dia selalu menganggap bahwa anak kecil adalah simply irresistable. Siapa yang sanggup untuk jahat dan cuek dengan kepolosan anak kecil?

Ya, ya, ya.

Ada, deng.

Perempuan bernama Sasya, yang siang itu malah bertanya balik kepada Kelana dengan pandangan yang aneh.

“Emang kenapa, sih, lo bisa suka banget sama anak kecil? Lo nggak ngeliat apa gelas gue tadi hampir jatoh? Dan kalo gelas gue jatoh, artinya, mbak-mbak waitress itu musti ekstra energi dan waktu buat ngebersihin lantai, buat ngebikinin gue minuman lagi, yang pastinya gue mintanya gratis, pulak…” kata Sasya dengan sebalnya.

“Kenapa gue suka anak kecil? Karena mereka anak kecil. They’re cute and adorable. Mereka begitu kan karena mereka masih kecil, Sas…”

“Waktu gue kecil, nggak sampai senakal anak-anak sekarang, deh…”

“Iya, elo kan nakalnya baru sekarang.. Pas udah dua delapan dan jenis nakalnya udah beda lagi…” Kelana tertawa.

Sasya mencubit lengannya sambil tersenyum kecut. “Sialan lo. Gue serius, nih. Lo nggak perhatiin, apa, kalo sekarang anak-anak kecil itu nakalnya ampun-ampunan?”

“Hmmm…”

“Gini, gini. Waktu lo kecil, pernah nggak sih elo yang lari-larian ke sana kemari pas makan di restoran?”

“Ummm…. Pernah nggak, ya?”

“Atau pernah nggak sih, elo yang nangis di lantai mal cuman karena elo pingin sesuatu tapi nyokap elo nggak ngebeliin?”

“Ummm… kayaknya, sih… umm….”

“Atau pas elo dikasih boneka tapi elo bilang kalo bonekanya jelek?”

“Heh! Itu sih ponakan elo semua, kaaannnn???”

Sasya tertawa.

“Naaahh… sekarang elo tau darimana bibit kebencian gue sama anak kecil, kan, Lan? Ponakan gue tuh amit-amit deh, bandelnya… Mau gue cubit, itu artinya gue ngibarin bendera perang sama kakak gue… Tapi kalo gue biarin, yang ada gue sakit ati mulu. Serba salah, kan?”

“Tapi nggak semua anak kecil begitu, lah, Sas… Banyak anak-anak kecil yang bukan penjelmaan iblis..”

“Gimana elo bisa tau kalo semuanya pada undercover semuanya?”

“Haha, susah emang kalo lagi diskusi sama orang yang udah keukeuh sumerekeuh dengan pendapatnya. Yang ada, ini bukan lagi diskusi, tapi debat kusir,” kata Kelana.

“Ya, ya. Karena elo juga keukeuh sumerekeuh dengan pendapat lo, Lan. Kenapa sih, elo nggak samaan aja kayak gue, biar ini nggak jadi debat kusir?”

“Dasar gebleg!”

*

Kenapa Kelana suka dengan anak kecil? Karena mereka adorable.

Kenapa Sasya benci dengan anak kecil? Karena mereka miserable.

Kadang, Kelana sering nggak mengerti pada orang-orang yang benci dengan anak kecil, yang merasa terganggu dengan kehadiran anak kecil yang bermain dengan riang gembira dan terkadang menjerit saat mainannya direbut. Di mata Kelana, senakal-nakalnya anak kecil, tetap saja, mereka adalah anak kecil. Belum tahu, mana yang salah dan mana yang benar. Belum bisa memutuskan apakah mereka mengganggu atau nggak. Belum mengerti bahwa tingkah laku mereka adalah menyebalkan atau menyenangkan.

They live in a world where everything is about playing and sleeping. Crying and laughing are in between. Itu saja.

Sebagai orang yang jauh lebih besar dibandingkan anak-anak kecil itu, sudah sewajarnya Kelana yang mengalah dan mencoba memahami kenakalan mereka. They’re just being kids, mau senakal apapun, they’re just doing their jobs.

Deal with it.

*

“Lo suka anak kecil, nggak, Em?” tanya Kelana, saat mereka turun ke basement, mencari makanan untuk menjejali perut mereka yang keroncongan.

“Suka. Kenapa? Elo benci?”

“Gue? Benci? Gila, ya nggak lah…”

“Terus?”

“Gue lagi heran aja sama orang yang nggak suka sama anak kecil. They’re cute and innocent, aren’t they?”

“Yap. Bener banget.”

“Terus kenapa bisa benci ya?”

“Hmmm… mungkin karena mereka udah capek banget ngedengerin anak kecil nangis, anak kecil rewel, anak kecil jejeritan, anak kecil bawel dan lari-larian ke sana kemari…”

Sasya memang tinggal di kost yang jaraknya tidak jauh dari rumah Mbak Nasya. Setiap satu minggu sekali, Sasya diwajibkan untuk setor muka di rumah Mbak Nasya karena keponakannya mengaku kangen sekali kalau nggak ketemu dengan tante tercinta mereka. Tapi, alih-alih kangen, keponakan-keponakannya itu malah sering bikin Sasya sebel dengan tingkah mereka yang lari ke sana kemari, minta ini itu, dan nangis sampai menjerit kalau permintaannya nggak diturutin.

Setiap hari Minggu, sebuah SMS dari Sasya selalu mampir di ponsel Kelana. Isinya selalu sama. “Help! I’m in hell on earth!

Dan Kelana selalu tertawa geli sambil membalas SMS-nya. “Good. Enjoy the preview before entering the real one!”

“Lan, helllooww??? Kok ngelamun, sih?” tanya Emma. Ternyata Kelana malah asyik senyum-senyum sendiri membayangkan jeritan hati Sasya karena keponakan-keponakannya itu.

“Mmm.. sorry, sorry. Gue baru nyadar kalo emang si Sasya udah capek ati banget sama ponakannya…”

“Oh, jadi ini soal Sasya…”

“Iya, si Sasya yang benci banget sama anak kecil.”

“Kalo gitu, gue rasa wajar lah, kalo Sasya sampai sebel banget sama anak kecil…”

“Kenapa?”

“Karena dia yang punya sepatu… dan elo, juga gue, adalah orang-orang yang nggak tahu gimana rasanya punya ponakan sebandel itu….”

“Maksud lo?”

“Mudahnya gini. Kalo anak-anak kecil bandel itu adalah sepatunya Sasya… She wears that every day… Sementara buat elo, yang nggak ngehadepin mereka setiap weekend dan paling ketemuan sama anak kecil occasionally, cuman minjem sepatu itu…”

“Hmmm….”

“Elo bisa aja naruh sepatu itu di rak, anytime you want… tapi kalo Sasya? They have to put them on… each and every single dayNo exception…”

*

Later that week, Kelana duduk di tepi tempat tidurnya di kamar kost sambil melihat sepasang sepatu di atas rak yang terletak di pojok kamarnya.

Sepasang sepatu berdebu, yang only Heaven knows kapan terakhir kali dia memakainya.

Segera dia tersenyum.

Membayangkan sepatu-sepatu Sasya yang bernama Viona dan Isabel, yang baru saja membuat sebuah SMS dari Sasya mampir lagi ke ponselnya, seperti biasa.

Help! I’m in Hell on Earth!

From : Sasya Bawel

Tapi kali ini Kelana tidak membalasnya dengan jawaban yang sama.

Dia hanya mengetik beberapa huruf saja.

Sabar, ya, Sas…

**

Warung Mie Ayam dekat rumah, Kamis, 15 Oktober 2009, 7.14 Malam

Kangen sama ‘sepatu-sepatu’kuJ

0 comments: