Sunday, October 11, 2009

Seorang 'Raka'


John Legend masih bernyanyi dengan merdu dari balik speaker yang tergantung di setiap sudut sebuah kedai kopi, ketika Kelana dan Sasya sedang asyik menyesap kopi mereka. Latte untuk Kelana dan one single shot espresso untuk Sasya. Tidak ada yang lebih menyenangkan untukhang out dengan seorang sahabat di sebuah kedai kopi yang tidak terlalu ramai pengunjung, ditemani cangkir berisi kopi favorit, juga suara merdu John Legend yang sedang melantunkan Ordinary People. What a perfect combination!

“Gue paling suka sama lagu ini, Sas!” kata Kelana usai menyanyikan beberapa bait lagunya.

“Ordinary People?”

Kelana mengangguk. “He-eh. Ordinary People. Lo juga suka, kan?”

Senyum Sasya terkembang, meski tipis. “I used to,” tukasnya pelan.

“Aih? Used to? Maksud lo, Sas?”

“Umm… elo inget Raka?”

Siapa yang bisa melupakan lelaki bernama Raka? Saking memorablenya, Kelana bahkan ingat sekali nama lengkap lelaki itu. Raka Firmansyah. Lelaki usia tiga puluhan dengan wajah bersih dan memiliki five o’clock shadow, alias bekas cukuran di dagunya yang menciptakan efek berbayang di wajahnya. Raka adalah seorang pengusaha yang juga penggila kopi seperti Kelana dan Sasya. Dua tahun yang lalu, mereka bertemu dengan lelaki itu di sebuah acara kantor Sasya lalu berujung pada janjian minum kopi after office. Dari situlah, Raka kemudian tidak cuman sekadar seorang lelaki. In fact, he was a boyfriend. Ya, pacar Sasya yang kesekian.

“Raka yang tahun lalu bikin elo patah hati, kan?”

Sasya mengangguk. “Yep. Dan for your record, gue nggak pernah patah hati. Gue yang BIKIN orang laen patah hati,” kata Sasya sambil tersenyum. “Cuman Raka yang bisa bikin gue nangis dua bulan penuh dan gue jadi ngerasa kayak cewek yang paling menderita di muka dunia…”

Akhir tahun kemarin, Raka memutuskan hubungan setelah satu tahun lebih sedikit dia berpacaran dengan Sasya. Nope, Raka bukan bajingan yang hobi selingkuh, yang egois, yang masih belum bisa terikat komitmen. Malah, Raka adalah lelaki terbaik yang pernah menjadi pacar Sasya. Saat itu, mereka terpaksa putus karena Raka dan Sasya berbeda agama, resiko yang semestinya sudah diketahui Sasya saat Raka bilang, “Aku nggak bakal pindah agama cuman demi cinta, Babe. Kita bisa nikah beda agama, that’s the only option.”

Sekalipun Sasya adalah seorang cerminan perempuan masa kini, yang terkesan lebih terbuka untuk menanggapi masalah ini, ternyata cukup kolot untuk issue agama. Selama satu tahun lebih sedikit itu, Sasya selalu berdoa supaya Raka perlahan-lahan bisa mengendur idealisme-nya dan memilih untuk mengikuti agamanya. Which… it never happened.

He was the best thing that I’ve ever had in this life, Lan,” bisik Sasya setelah menyesapespressonya cepat-cepat. “Sampai sekarang gue nggak bisa ngelupain dia… sekalipun malam minggu gue nggak pernah sepi sama gebetan-gebetan yang berganti setiap minggunya…”

Kelana memandang sahabatnya. Menatap kedua bola mata Sasya yang mendadak seolah kehilangan cahayanya.

“Ordinary People tuh lagu favoritnya, Lan,” kata Sasya. “Dan setiap kali gue denger lagu ini, mau nggak mau, gue inget lagi sama Raka…”

Malam itu, Kelana menyesal kenapa dia iseng banget bilang kalau dia suka banget sama lagu Ordinary People yang tanpa pernah dia sangka, akan membuat acara hang outnya dengan Sasya diakhiri dengan awan sendu yang terus menggayuti wajah cantik Sasya sepanjang perjalanan pulang mereka, di atas sebuah taksi yang terasa jauh lebih dingin daripada biasanya…

*

“Em, lo udah pacaran berapa kali, sih?” Tanya Kelana saat mereka makan siang di kafetaria gedung, lantai 12, beberapa hari setelah insiden Ordinary People.

Emma menatap Kelana seolah menyelidik. “Sejak kapan elo jadi surveyor gini, eh?”

“Sejak gue pingin tau, seberapa dahsyat sih seorang mantan pacar buat kehidupan seseorang,” kata Kelana.

“Emang kenapa?”

Kelana segera menceritakan soal Sasya dan Raka.

“Umm… gue udah pacaran tiga kali, Lan. Pacar SMA, pacar kuliah, sama Bram yang kemarin itu..."

“Kalo si Indra?"

“Indra? Oh well, mudah-mudahan dia yang keempat,” kata Emma sambil cekikikan.

Kelana tertawa. “Jadi, jadi. Di antara yang tiga orang itu, ada nggak sih, yang sampai sekarang masih ngaruh banget buat elo, Em? Ya… kayak Raka buat Sasya gitu, deh.”
Kali ini, Emma berhenti menyendokkan nasi campur ke dalam mulutnya. Dia bahkan meletakkan sendok dan garpunya lalu memandang Kelana.

“Pasti, lah,” tukasnya setelah meneguk air mineral dingin yang ada di samping piringnya. “Bahkan menurut gue, tiap orang pasti punya seorang ‘Raka’ dalam hidup mereka… Orang yang sulit banget dilupain sekalipun mereka udah live happily dengan lelaki yang mereka cintai…”

“Masa, sih?”

“Iya.”

“Semua orang?”

“Pasti.”

“Oh, ya?”

“Memangnya elo nggak punya seorang ‘Raka’ di hidup elo?”

Kelana terdiam. Membayangkan sebuah wajah yang selalu masih nampak jelas sekalipun matanya terpejam, khususnya di malam-malam yang terasa sangat melelahkan dan menguras energi serta air mata.

“Tuh, kan, elo diem,” tukas Emma. “Jangan bilang elo nggak punya ‘Raka’, Lan… Everyone does… And by ‘everyone’, termasuk elo…”

Mendadak, hati Kelana terasa hollow. Kosong, hampa… dan dengan segera, air mata mengaburkan pandangannya.

*

Ada seorang ‘Raka’ dalam kehidupan Kelana. Oh, mungkin bukan ‘Raka’, tapi seseorang yang bisa saja menjadi seorang lelaki seperti Raka, karena lelaki yang sukses membuat kedua mata Kelana penuh dengan air mata beberapa jam yang lalu di kafetaria itu adalah seorang lelaki yang tak pernah menjadi kekasihnya, tapi telah membuat hatinya patah, tiga tahun yang lalu.

Namanya Evan; sahabatnya, tempatnya menuangkan seluruh isi hatinya, lelaki yang biasa menemaninya kemana-mana saat masih tinggal di Jogja dulu. Mereka tumbuh besar bersama-sama. Dunia memang telah berkonspirasi untuk mempersatukan dua anak manusia itu sejak mereka masih berupa bayi-bayi merah yang baru saja keluar dari perut kedua ibu mereka. Dunia masih berkonspirasi untuk menjadikan mereka teman berantem saat Sekolah Dasar. Lalu, dunia terus-menerus melakukan manuvernya untuk mempertemukan mereka kembali di SMU, sampai akhirnya mereka kuliah di universitas yang sama, sekalipun beda jurusan.

Tapi dunia tidak pernah berniat sedikitpun untuk menjadikan mereka sepasang kekasih. Evan selalu sibuk dengan pacar-pacarnya yang cantik, sementara Kelana selalu setia dengan Bayu, anak orang kaya yang kerap menjadikan Kelana sebagai alasan untuk keluyuran tengah malam.

Bertahun-tahun dekat dengan Evan membuat Kelana tahu persis setiap tarikan nafas sahabatnya itu, membuat Kelana seolah bisa membaca apa yang sedang Evan pikirkan dan rasakan. Telepati… Ya, telepati. Kelana dan Evan seolah memiliki kemampuan untuk bertelepati satu sama lain, saking lekatnya mereka bersahabat. Bertahun-tahun mereka menjadi sepasang jiwa yang terpisah sampai akhirnya dunia berhenti berkonspirasi untuk tetap mempersatukan mereka.

Tiga tahun yang lalu, Evan menikah dengan salah satu pacarnya yang mengaku tengah mengandung anak sahabatnya itu.

Saat itulah, Kelana menyadari, kalau dia mencintai Evan dan menyesali kebodohan sahabatnya…
Dia tidak hanya kehilangan sahabatnya.
Dia kehilangan udara untuk nafasnya.

Karena setelah Evan menikah, he moved miles and miles away…Dia mulai sibuk dengan keluarganya. Dia mulai sibuk mencari raupan Rupiah tiap bulan untuk mencukupi kebutuhan susu bayinya. Dia mulai tak bisa dihubungi. Dan ketika jarak dan waktu memisahkan sepasang manusia, butuh satu manusia untuk memulai komunikasi itu. Saat itu, Kelana dan Evan tidak melakukannya.
Mereka berpisah.
Evan pergi.
Tidak sekadar pergi, tapi lelaki itu membawa pergi hati Kelana….
Sampai hari ini.

*

Malam itu, Kelana mengaduk-aduk sebuah kotak, tempat ia biasa menyimpan barang-barang berharganya. Bukan, bukan surat-surat berharga atau perhiasan, tapi sebuah kotak berisi kenangan masa lalunya, mulai dari surat, pernak-pernik, sampai guntingan tiket bioskop.

Dia membongkar isinya, lalu larut dalam kenangan yang seolah terputar kembali setiap saat jari-jemarinya menyentuh setiap benda yang ada di dalamnya. Setiap lembar foto, setiap lembar tiket bioskop, setiap lembaran surat… Berkali-kali ia mengusap air matanya agar tidak menumpahi kotak yang masih berbau harum itu, harum bau parfum lelaki yang sudah lama tak dijumpai Kelana, meski hampir setiap malam-malam sedihnya, lelaki itu selalu muncul dan menyapa.

Kelana menghela nafas lalu menutup kembali kotak berisi kenangan itu dan menyimpannya kembali ke atas lemari, tempatnya selama tiga tahun belakangan ini, setelah dia memutuskan untuk membawanya dari Jogja, kampung halamannya.

It was official.
Hari itu, Kelana harus mengakui kebenaran kata-kata Emma, tadi siang.

Ya.
Setiap orang selalu memiliki seorang ‘Raka’ dalam kehidupan mereka.
Dan buat mereka yang bilang tidak… mungkin yang lebih tepat adalah…. Nope, not yet.Seseorang itu mungkin BELUM menemukan ‘Raka’nya, but someday, she will…

4 comments:

Anonymous said...

Kelana... oh Kelana!

Riris Ernaeni said...

hm...ada yg mempunyai kekuatan untuk menghapusnya...yaitu : kemauan dan waktu, Lana !!

Kelana said...

Kelana says...

@ Anonymous :
Haha... kenapeeee...lageee

@ Mbak Riris :
Kekuatan untuk menghapus? Somehow, I just want to keep 'my Raka'... tapi mencoba mengingatnya dalam senang aja, bukan sedih... Nah, disitulah tetap berlaku : kemauan dan waktu :)
Thanks..

Anonymous said...

Kyk Na kena banget d ., mnrt Jeung Lala ., Bila Waktu Bisa Kembali ., ApaKah Anda Akan Menyatakan Perasaan Jeung Lala Pada Nya ?? (Ga Perlu Trll Di tanGgap Serius ., Cm Asking Ajah ., Tp gw Lg Hdpi Problem Sprt In jg si)

Tp Beda Na Gw Co .. hohohoho ..
: ) ^FooLzPoring^