Wednesday, October 14, 2009

Marriage Ruins Everything


Di sebuah butik garmen keluaran Amerika, Kelana bertemu dengan Moura, teman kuliahnya yang lulus dengan predikat cum laude. Dia adalah lulusan terbaik untuk fakultas Manajemen dan tak lama setelah lulus, dia segera dipinang oleh sebuah perusahaan telekomunikasi terkenal di kota Jogja. Di saat banyak sarjana S1 luntang lantung mencari pekerjaan, Moura malah kebingungan memilih perusahaan mana yang paling bisa mengakomodasi keinginannya; gaji yang bagus dan jenis pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang edukasinya.

In short, Moura adalah perempuan cantik, supel, berdedikasi tinggi terhadap segala kewajibannya, dan sangat pintar. What a perfect combination for a girl dan tentu saja, setiap perempuan bakal iri dengan Moura. Apalagi dua tahun setelah lulus kuliah, terdengar kabar kalau dia menikah dengan seorang pejabat pemerintahan yang kaya dan ganteng pula. Wow!Everytime Kelana remembers Moura, sosok perempuan perfecto yang mengisi benaknya.

Moura adalah sosok yang diinginkannya; smart, beautiful, married to a perfect man. Kelana iri berat!

Dan siang itu, Kelana bertemu kembali dengan Moura yang kemudian mengajaknya duduk di Excelso.

“Ada angin apa sampe elo ada di Surabaya, ‘Ra?” Tanya Kelana yang sangat excited bertemu dengan teman lama. Sejak lulus kuliah, Moura memang sudah jarang kumpul-kumpul dengan teman-teman kuliah. Apalagi sejak menikah dan punya anak. She’s very busy.

“Haha, yang bawa aku ke sini memang angin, Babe… Angin Sriwijaya alias Sriwijaya Air…”

Kelana tersenyum. “Lo ada perlu di Surabaya apa cuman maen-maen aja, ngabisin duit suami?” Kelana menggoda Moura dan disambut dengan kekehan geli teman lamanya itu.

“Aku memang ada keperluan di Surabaya, Say,” kata Moura sambil tersenyum.

“Heh, what with the smile?” Kelana mencurigai senyum Moura yang nakal.

“Hehe, kamu ini, nggak berubah ya, naluri detektifnya…” Moura menggigit roti lapis Amerikanya lalu kembali melanjutkan kalimatnya. “Aku memang ada keperluan kok, di Surabaya…”

“Tapi…. I heard a ‘but’ sound,” desak Kelana.

“Iya, deh, iya. Aku ngaku, Bu Detektif…” kata Moura akhirnya. “Aku ke sini janjian ketemuan sama temen-temen Facebook…”

“Temen-temen Facebook? Maksud lo, temen-temen lama, gitu?”

No, Darling… Temen-temen Facebook… alias temen-temen baru yang gue kenal gara-gara Facebook…”

“Hah?”

“Eh, gimana kalau kamu ikutan aku sekalian, Lan? Kamu masih single, kan?”

“Hah?”

“Ntar aku janjian sama cowok, namanya Adrian, umurnya masih dua limaan gitu, deh… Kamu ikut aja, ya.. Aku suruh Adrian bawa temennya sekalian biar bisa kenalan ama kamu juga…”

Suddenly, Kelana kehilangan selera sekalipun di depannya berdiri segelas coffee float, menu favoritnya di Excelso yang kini terlihat sama sekali tidak menggugah selera…

*

Satu jam setengah duduk di Excelso membuat Kelana tahu sedikit banyak tentang Moura Saraswati, teman kuliahnya yang ternyata kini sudah sangat, sangat berubah. From head to toe,Moura yang dulu berpenampilan biasa-biasa saja with jeans and t-shirt, kini menjelma menjadi pemuja fashion. Rambutnya yang dulu dibiarkan lurus sebahu, kini panjang sampai ke punggung dan dikeriting gantung, serta.. ya, dicat warna merah kecoklatan. On top of the top, bukan soal penampilannya yang membuat Kelana tercengang, tapi bagaimana sekarang Moura menjelma menjadi perempuan yang… um, nakal? Ya. Nakal.

Seorang Moura yang sudah menjadi istri dan ibu dari dua anak tidak seharusnya terbang ke sebuah kota hanya untuk bertemu dengan lawan jenis yang belum pernah ditemui sebelumnya. Lebih-lebih, dia berangkat tanpa suami dan dengan mengantongi ijin “Aku mau ketemu sama temen lama di Surabaya.. Dia mau kawin, Sayang” dari suaminya yang berusia lima belas tahun lebih tua.

Not only God knows apa yang akan dilakukan oleh perempuan menikah yang berjanjian bertemu dengan lelaki muda, di belahan kota yang lain. Kelana memang polos, tapi tidak terlalu naïf untuk mengendus ketidakberesan di sini.

“Kamu belum menikah, sih, Lan…. Apalagi menikah dengan orang yang jauh lebih tua, tanpa cinta pula,” kata Moura siang itu.

“Tapi Mas Gito kan punya segalanya, ‘Ra? Ganteng, kaya, mencukupi semua kebutuhan elo, dan.. um… he loves you that much, doesn’t he?”

Moura tersenyum kecil.

“Dia emang punya semuanya, Lan… Tapi dia nggak bisa ngasih sesuatu buat aku.”

“Apa?”

“Kebahagiaan,” kata Moura. “A little word that means the world for me. Empat tahun menikah dengan Mas Gito nggak bisa bikin aku bahagia, Lan… Itulah kenapa aku mencari pelampiasan ke orang lain… Mencari kebahagiaan sama lelaki lain…”

Why did you marry him at the first place, kalau kamu nggak bahagia?”

Well…how did I ever know that marriage could ruin everything?”

“…”

Marriage ruins everything, Lana. A bitter fact that every single woman should know…

*

Beberapa hari setelah Moura mendistraksi pikirannya tentang pemahaman baru ‘Marriage Ruins Everything”, Kelana memilih untuk berelaksasi di sebuah fitness center di sebuah hotel, jalan Raya Raya Darmo. Saat duduk di dalam sauna, tanpa disangka dia bertemu dengan Jessy, seorang Sales di perusahaan Advertising kompetitornya yang sering bertemu di beberapa acara yang sama.

Jessy tersenyum lalu duduk di seberang Kelana. Berbalut handuk dan sibuk mengikat rambutnya tinggi-tinggi, Jessy dengan ceria menyapa Kelana.

“Eh, what a small world, ya, Darling….”

“Iya, nih. Apa jangan-jangan elo ngikutin gue mulu, Jes?”

“Mending gue ngikutin cowok ganteng daripada elu, lah, Lan… gue masih doyan laki, kok…” Jessy tertawa. Wajahnya terlihat sumringah seperti biasanya.

“Iya, deh, iya… Eh, by the way, kok elo bisa ada di sini, sih, pagi-pagi begini? Nggak ada yang nangis pas elo tinggal ke sini?”

Jessy tertawa. “Ah, suami gue pengertian, kok, Lan. Dia tau banget kalo every woman deserves her ‘me time’. Jadi kalo gue lagi jenuh di rumah dan butuh refreshing, suami gue yang gantian ngejagain anak gue…”

“Ah, suami elo emang superb ya, Jes.. Jarang lho ada lelaki yang sepengertian dia… Elo beruntung banget punya suami kayak Mas Erwin.”

“Hmm… gue bukan cuman beruntung jadi istri Mas Erwin, Lan. In fact, gue juga beruntung banget punya anak seperti Dika.”

“Oh ya?”

“Iya. Malah, sangat, sangat beruntung…”

How so?”

“Karena dengan menjadi istri Mas Erwin dan punya anak sehebat Dika, gue berubah menjadi sosok yang sama sekali baru, Lan.. Jauh lebih baik daripada seorang perempuan bernama Jessy, empat tahun yang lalu…”

Kelana hanya diam mendengarkan kalimat-kalimat yang meluncur keluar dari mulut Jessy.

“Gue belajar banyak dari mereka, Say.. Dari mereka, gue tau… bahwa kasih adalah berbagi, bahwa kasih adalah tulus, dan tulus adalah ketika elo mau menerima seseorang dengan segala kelebihan dan kekurangannya… Ada yang dikurangi, ada yang ditambahkan. Bukan tentang apa yang udah kita miliki, tapi selalu tentang apa yang sudah kita berikan… And Darling, itu yang bikin hidup elo lebih berarti….”

Kelana hanya manggut-manggut setuju mendengar penuturan Jessy yang oh-so-clever. Perempuan di depannya terlihat sangat tulus saat mengucapkan kalimat-kalimat tadi, disertai dengan binaran di kedua matanya.

“Hmm… lo tau nggak, sih, Jes?”

“Apaan?”

“Belakangan ini gue kepikiran sama salah satu temen gue yang bilang kalo marriage ruins everything… Tapi setelah denger kata-kata elo tadi…. Ummm… gue jadi lega.”

Jessy tersenyum. “It wasn’t marriage that ruins everything,” katanya. “It was you… yourself.”

“Hmmm…”

“Dan kalau benar marriage ruins everything, sepertinya, dia khilaf saat ngebikin hidup gue malah jadi lebih adem sejak memutuskan untuk menikah dengan Erwin dan punya anak seperti Dika…”

Pagi itu, sekalipun Kelana sedang bersantai di dalam sebuah sauna yang panasnya mencapai 80 derajat celcius, dia malah merasakan sebuah kesejukan yang perlahan-lahan membuat hatinya tenang.

Untuk Kelana, seorang perempuan lajang kebanyakan yang usianya di akhir dua puluhan yang merindukan kehadiran pasangan jiwa, kata-kata Jessy benar-benar membuatnya percaya bahwamarriage hasn’t lost its charm…

Ya.

Dia masih kepengen menjadi istri seorang lelaki yang diidamkannya.
Seorang lelaki seperti.. ummm… Pak Donny, misalnya? ^_*

**

Kantor, Kamis, 15 Oktober 2009, 10.39 Siang
Untuk Yessy Muchtar, the birthday girl…
Thanks untuk inspirasinya, ya, Say..

3 comments:

yessy muchtar said...

At first...gue udah GR aja kalo gue bakal jadi Moura. Tapi kebawahnya, gue malah tersinggung banget kalo di sama-samain sama Moura...

Dan pada akhir cerita...
aihh aihhhhh....:)

Senangnyaaa, dirimu mengutip kata-katakuuuwwhhhh hihihihi.

hidup itu untuk maju La...jadi gue mau maju untuk menjadi lebih baik. Gue mau benar-benar praktekin kata SETIA. Gue mau lebih banyak bersyukur pada setiap butir rejeki yang udah Allah kasih ke gue dan Orang orang terkasih gue.

Termasuk..bersyukur banget punya sahabat baik seperti dirimuuuuu..:)

Love youuuu Laaaa :)

Yessi Greena said...

hiks...gw lagi ragu niy mau nikah ma cowok gw..
banyak banget ketakutan dan keraguan..
what should i do?

Kelana said...

Kelana said...

@ Yessy :
Well, gue juga nggak mau elo sama kayak Moura, Yes. Karena gue yakin, elo levelnya jauuuhhh banget di atas temen gue itu...
You're a great woman, you deserves a great marriage :)
Eniwei, Lala juga beruntung punya sahabat kayak elo.. trust me, she is..

@ Yessi :
Then stop doubting your future, Darling. Live your life dan berusaha untuk mengusir keraguan dengan cara membuktikan kalau kita bisa melakukan yang terbaik.. :)
If everyone else in the world can survive their marriages, kenapa kita tidak? :)
Keep the faith... dan selalu semangat! Kalo ngeladenin keraguan mulu, kapan bisa moving forward... iya, kan?
Ayo, cepet nikah, gih! Gue juga pingin.. haha!