Monday, October 19, 2009

Pernikahan Cecil


Langit senja sudah menyentuh ketika Sasya tiba di depan kantor Kelana. Dengan menumpang sebuah taksi berwarna biru, dia menyapa Kelana yang segera masuk ke dalam taksi begitu pintu itu terbuka dan wajah Sasya terlihat di depannya.

Agenda setiap hari Jumat, after office. Dua sahabat itu akan melewatkan waktu di sebuah kedai kopi. Menikmati cangkir demi cangkir kopi yang mereka suka, bercerita panjang lebar tentang Senin-Jumat mereka, lalu cekakak-cekikik di sana sampai pukul sebelas malam. Begitu terus sepanjang minggu.

Yang membuatnya berbeda kali ini adalah Sasya menjemput Kelana di kantor, dengan taksi yang ongkosnya bakal lebih mahal karena kedai kopi tempat mereka biasa nongkrong sambil cekikikan itu terletak setengah kilometer sebelum menuju kantor Kelana. Sasya bisa saja langsung turun di kedai kopi tersebut, tapi dia malah menjemput sahabatnya di kantor.

Kelana tahu, naluri detektif-nya mengatakan, Sasya sedang sinting.

…eh.

Sedang punya rencana lain.

Sesaat setelah Kelana duduk di sebelahnya, Sasya segera mengeluarkan sesuatu dari dalam tas Dior KW1-nya. Sebuah amplop berwarna merah marun dengan pita berwarna kuning keemasan di pojok kanan atasnya. Dari bentuknya, Kelana menduga, it was a wedding invitation.

“Undangan kawin?” tanya Kelana sesaat sebelum amplop itu berpindah ke tangannya. “Yep, undangan kawin,” lanjutnya setelah melihat dengan jelas tulisan ‘wedding invitation’ berikut dengan nama sepasang pengantin yang bahagia; Farid & Cecil. “Mmm… ini Cecil yang temen baik elo sejak kuliah, kan, Sas?”

Sepanjang usia persahabatannya dengan Sasya, Kelana sering mendengar cerita-cerita tentang Cecil begini, Cecil begitu. Maklum, jauh sebelum berteman dekat dengan Kelana karena sempat satu kost, Sasya sudah bersahabat baik dengan perempuan peranakan Jawa dan China yang bermata lebar tapi bertubuh putih bersih itu. Bahkan seringkali, saat mereka berdua meluangkan waktu untuk ngopi di akhir pekan, Cecil juga ikut nimbrung di kedai kopi, tapi memesan teh bunga matahari, kesukaannya.

In short, Kelana kenal siapa Cecil dan sedikit banyak tahu tentang perempuan lajang yang berkarier bagus tapi malas memikirkan soal jodoh itu. Dan sekarang, yang membuatnya kaget tentu saja ketika menimang sebuah amplop undangan pernikahan Cecil yang terkesan mendadak.

“Cecil kawin, Sas?”

Sasya mengangguk. “Seperti yang lo liat di undangan itu, Lan.”

“Farid itu siapa? Kok gue belum pernah denger ceritanya, sih?”

“Meneketehe.. gue belum pernah denger,” sahut Sasya sebal.

“Hah? Lo nggak kenal sama calon suami sahabat elo sendiri?”

Sasya tersenyum kecil. “Gue malah nggak tahu kalo dia lagi pacaran, Lan.”

“Serius?” Kelana membelalakkan matanya. Dia cukup kaget mendengar kalimat itu keluar dari bibir sahabatnya. Kelana jatuh cinta hebat dengan Pak Donny, Sasya tahu persis bagaimana detilnya. Sasya patah hati dengan Raka, Kelana yang menjadi bahu untuk setiap tangis sedihnya. Kalau Cecil, yang di mata Sasya adalah seorang sahabat sejak masa kuliah dulu, yang selalu berbagi cerita tentang apa saja, termasuk soal permasalahan keluarga yang sangat personal, kini malah nggak cerita soal dia pacaran dengan lelaki yang bakal menikahinya, can she still be called as a bestfriend?

“Gue serius, Lan. Dan asal elo tau, dia bahkan nggak cerita kalau dia udah lamaran bulan April kemarin… All those times, kita kumpul-kumpul, ngerokok bareng, cekakak cekikik bareng… dan dia sama sekali nggak pernah niat untuk ngasih tau gue soal rencana nikahnya ini?”

Kelana terdiam.

“Lalu pagi tadi, undangan kawinnya udah nangkring di atas meja gue… tanpa ada SMS atau telepon dari Cecil.”

Kelana melihat mendung menggayut di wajah Sasya yang kemudian berkata, “She is my bestfriend, for God’s sake, Lan. Kenapa dia malah nggak ngebagi kabar ini sama gue? Apa dia udah nggak nganggep gue sebagai sahabatnya, ya, Lan?”

Selang beberapa detik kemudian, mendung itu berubah menjadi gerimis yang turun perlahan membasahi pipi Sasya…

*

Ada beberapa hal yang tidak akan diceritakan Kelana pada Sasya, sahabatnya tersayang, no matter how close they are. Kelana memiliki batasan yang jelas informasi mana saja yang boleh dibicarakan atau dibagi, misalnya tentang aib keluarga, tentang financial security, dan permasalahan yang sedang dihadapi oleh orang-orang terdekatnya. Other than those stuffs, Kelana memilih untuk bungkam.

Not that she doesn’t trust her best friend, tapi Kelana memiliki pemikiran yang sederhana. Dia hanya ingin membagi kabar bahagia saja, dia tidak ingin melibatkan orang lain dalam permasalahannya. Kelana lebih suka cekakak-cekikik dengan sahabatnya, daripada harus bercerita soal ini yang begini, itu yang sedang begitu. Sasya sudah punya permasalahannya sendiri, jadi Kelana memilih untuk menyimpan gundahnya untuk konsumsi pribadi. Ya, tentu saja sampai ia benar-benar tak sanggup menghadapinya sendiri dan butuh pelukan sahabatnya.

“Gue, sih, ngehargai banget prinsip elo yang nggak kepingin ngebagi masalah pribadi lo, Lan…” kata Sasya, saat mereka memutuskan untuk menikmati coffee weekend mereka di kedai kopi yang lain, “But come ooooonnn… elo nggak bakalan diem-diem aja kalo elo dilamar sama orang, kan?”

Kelana menyesap isi cangkir kopinya lalu tersenyum, “Gue pacaran sama cowok aja bakal girang setengah mampus, apalagi kalau ada yang ngelamar gue, Sas…”

“Jangan-jangan lo bikin pengumuman di koran, Lan…” tukas Sasya sambil mengunyah kentang goreng. “Dengan judul headlinenya, Akhirnya Laku Juga!”

“Sialan lo, Sas! Gue emang desperate sih, tapi nggak se-desperate itu laahh…” Kelana mesam-mesem sambil terus menyesap larutan kopinya.

“Tapi, lepas dari ke-hiperbolis-an gue tadi,” kata Sasya setelah puas melihat Kelana ngomel-ngomel. “Gue yakin, elo bakal cerita kalau one day ada cowok yang khilaf mau jadi pacar elo dan nekat kawinin elo, kan?”

“Dan lepas dari elo bilang soal khilaf dan nekat tadi,” tukas Kelana disambut kikikan geli sahabatnya, “Iya banget, gue pasti akan cerita sama elo.”

See?”

Kelana mengangguk. “Jadi elo masih marah sama Cecil, nih?”

“Sangat.”

“Cecil pasti punya alasan khusus kenapa dia nggak cerita sama elo, Sas,” kata Kelana

“Emang ada good reason untuk nggak bilang-bilang soal rencana nikahnya, Lan? Emang ada good reason kenapa dia nggak cerita kalau dia udah dilamar pacarnya? Pacar yang nggak pernah dia kenalin ke gue….”

Kelana terdiam. Dia hanya mengelus lembut punggung tangan sahabatnya, sembari berusaha menenangkan hati sahabatnya, Sasya, yang kini merasa being left out from the game, the game that she thought she was in it… but she wasn’t.

*

Hari Sabtu, pukul setengah delapan malam, Sasya turun dari dalam taksi ditemani dengan Kelana yang malam itu kompak memakai little black dress dengan selendang batik. Meskipun agak merengut, tapi Sasya tetap berangkat juga ke pesta resepsi pernikahan Cecil yang digelar di ballroom hotel JW Marriot. Itupun karena berkali-kali Kelana bilang, “Udahlah, Sas…. Cecil udah niat ngundang elo… Paling tidak, dia pingin ngebagi berita baik ini sama elo, daripada nggak sama sekali, kan?”

Malam itu, Sasya berjalan dengan langkah terseret-seret karena masih menata hati. Kalau Kelana nggak memaksanya, pasti Sasya sudah memilih untuk mabuk aja di Blowfish!

Sampai di lobby hotel, mereka disambut dengan beberapa photo pre-wedding yang dibingkai dengan pigura kayu berwarna keemasan, yang berdiri tegak di sebelah kanan dan kiri tangga yang menghubungkan lantai satu dengan ballroom. Sasya berhenti mengamati foto-foto itu lalu merasa hatinya berdebar.

It was pretty obvious why her best friend never told her anything about Farid, karena apa yang dilihat Sasya telah menjelaskan semua pertanyaan-pertanyaan yang menggantung di dalam isi kepalanya dan membuatnya uring-uringan selama seminggu penuh. Not to mention, air mata yang mengalir deras tanpa kendali setiap Sasya mengingat persahabatannya dengan Cecil sejak mereka masih kuliah, sepuluh tahun yang lalu.

“Jadi, itu yang namanya Farid?” celetuk Kelana, membaca pikiran sahabatnya.

Apparently… yes.”

“Bisa nggak, ini disebut good reason kenapa dia nggak pernah cerita sama elo soal pacar, lamaran, dan akhirnya nikah?”

Sasya tersenyum kecil, sambil menganggukkan kepalanya perlahan.

**

Nama : Farid Samuel

Pekerjaan : Pengusaha Mebel

Usia : 59 tahun

Dan dari bisik-bisik yang didengar oleh Sasya dan Kelana ketika mereka duduk di round table, berbarengan dengan orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya, mereka tahu, kalau Farid Samuel, digosipkan harus menceraikan istrinya yang sudah tua dan meninggalkan anak-anak mereka, demi menikahi seorang gold digger bernama Cecil…

***

1 comments:

Anonymous said...

mengapa tidak:)