Friday, October 9, 2009

Cerita si Materialistis



Kelana sedang mengurusi belanjaannya di depan kasir supermarket ketika hari itu dia bertemu dengan Diandra, anak perempuan Tante Nanik, yang usianya masih di awal dua puluhan. Dari kejauhan, Kelana sudah melihat sepupunya itu tersenyum sambil melambaikan tangannya. Setelah selesai dengan urusan membayar, Kelana pun berjalan mendekati Diandra yang hari itu nampak trendy dengan balutan t-shirt putih yang pas badan, celana jeans pendek, untaian kalung bebatuan, dan sandal dengan hak setinggi tujuh senti. Diandra terlihat lebih dewasa daripada usianya. Ya, setidaknya, bukan image itu yang terbayang di kepala Diandra ketika mendeskripsikan anak kuliahan umur dua puluh satu tahun.

“Dian… Apa kabar?” Kelana mengecup kedua pipi sepupunya. “Tambah cantik aja, Di.”
Diandra tersenyum.
“Kabar Dian baik, Mbak Lana…”
“Tante Nanik gimana kabarnya?”
“Mama? Masih bawel dan cerewet seperti Bude Sisil,” kata Diandra sambil tersenyum. Kelana ikut tersenyum karena mendengar nama Mamam disebut. Ya, Mamam dan Tante Nanik memang pantas disebut kakak beradik; sama-sama bawel dan sama-sama cerewet.
“Eh, omong-omong, kok kamu bisa ada di Surabaya, sih? Liburan, ya?”
“Iya, nih, Mbak. Liburan aja, bosen di Jogja terus.”
“Oww… sama siapa? Arini ikut juga?” Arini adalah adik Diandra yang masih sembilan belas tahun.
“Nggak, Mbak. Sendirian aja…”
“Lho? Mana enak liburan sendirian?”
“Mmm… nggak sendirian kok, Mbak… Aku ke sini sama Mas Dika.”
“Mas Dika?”
“Iya… Dia kan calon suamiku…”

Segera Kelana langsung ingin pingsan seketika karena mengetahui kalau sepupunya yang belum juga lulus kuliah itu malah sudah berencana menikah dengan seseorang bernama Mas Dika. Bagaimana nggak kaget, kalau mendadak, sepupunya bilang kalau dia punya calon suami, padahal saat terakhir bertemu beberapa bulan yang lalu, Diandra masih menangis-nangis darah karena baru putus cinta dengan pacarnya sejak SMA, Andreas.

“Mbak pasti kaget, kan?” kata Diandra sambil mengedipkan matanya.
“Jelas!” Kelana setengah berteriak. Ekspresi yang hiperbolis, memang, tapi begitulah yang terjadi.
“Hehe, jangan teriak, dong, Mbak.. Kan malu nanti kalau didengerin Mas Dika…”
“Ups! Memangnya dia ada di sini, ya?”
“He-eh. Tadi dia lagi pamit ke toilet sebentar… ummm…” Diandra nampak celingukan. “Eh, eh, itu dia!”

Kelana mengikuti arah pandang sepupunya sampai akhirnya pandangannya menumbuk ke satu sosok lelaki yang berjalan ke arah mereka berdua dengan senyum dikulum. Seorang lelaki yang langsung membuat Kelana tak bisa berhenti berkata, “Sumpe looooo???????”
Yap. Dalam hati saja!

*

Sasya ketawa cekikikan sampai-sampai ketawanya yang mirip kuntilanak itu terdengar mendominasi kedai kopi yang sedang sepi, beberapa sore berikutnya.
“Separah itu, Lan?”
Kelana mengangguk.
“Iya!”
Sasya ketawa lagi. Matanya segera mengeluarkan air mata saking asyiknya tertawa.
“Mukanya nggak jelas, Lan?”
“Amburadul!”
“Perutnya?”
“Gembul!”
“Kepalanya?”
“Licin kayak piring abis dicuci!”
Sasya tertawa lagi.
“Mmmm…. Dompetnya, dompetnya???”
“TEBEL!”

Ternyata yang namanya Mas Dika itu adalah lelaki lajang usia empat puluh lima tahun, pengusaha sukses dengan omzet gila-gilaan perbulannya, dengan fisik seperti yang tadi Sasya sebutkan: muka nggak jelas, perut gembul, dengan kepala licin.

Itu sebabnya, ketika Diandra memperkenalkan calon suaminya di depan supermarket beberapa hari yang lalu, Kelana benar-benar sibuk menjaga mulutnya supaya nggak lancang mengomentari sosok Mas Dika yang benar-benar tidak sesuai dengan sepupunya yang cantik dan centil. Dan ya, masih dua puluh satu tahun!

“Berarti sepupu elo tuh cewek matre ya, Lan?”
“Tauk, deh.”
“Masa pake cinta, sih?”
“Tauuuuukkkk…”
“Siapa yang demen coba sama cowok model KangMas Dika gitu?”
“Buktinya ada… tuh, sepupu guueee…”
“Soalnya sepupu elo matre, kaleee…”
“TAUUUUKKK!!!”

*

Diandra dan Mas Dika. Yang satu, perempuan usia dua puluh satu, dengan badan putih mulus, payudara montok, bokong penuh, dan dandanan masa kini. Yang satu lagi, laki-laki empat puluhan, dengan fisik nggak oke, tapi dompet tebal.

Apakah dengan serta merta orang bebas menyebut Diandra cuman memanfaatkan ketebalan dompet calon suaminya?

Apakah dengan serta merta orang menuduh kalau pasangan dengan perbedaan fisik yang cukup signifikan (baca = cantik banget dan jelek banget) tapi salah satunya memiliki deposito gila-gilaan di rekeningnya, adalah wujud dari dunia yang sudah semakin materialistis?

Kelana sendiri tidak menyangka kalau sepupunya bakal kawin dengan lelaki yang lebih pantas disebut Om-Om girang ketimbang lelaki baik-baik. Dari sorot pandangan matanya saja, Kelana bisa tahu, kok, kalau si Dika itu mata keranjang. Apalagi gayanya yang sok mesra menggamit pinggul sepupunya lalu mencium mesra belakang kepala Diandra saat menraktir Kelana makan siang, usai belanja saat itu.

Tapi kalau Kelana merasa risih dan bertanya-tanya kenapa Diandra memilih Mas Dika, apa itu artinya, Kelana mengakui kalau sepupunya memang perempuan yang materialistis?

“Semua cowok yang pernah pacaran sama gue musti tahan banting dibilang cowok matre, Lan,” kata Emma saat mereka makan siang.
“Karena elo kaya?”
“Pastinya!”
“Tapi elo, kan cantik, Em…”
“Mau cantik gimana juga, tetep aja… orang-orang bakal ngeliat kalau cowok-cowok itu cuman morotin duit bokap gue…”
“Ih, emangnya elo mau disamain sama Mas Dika yang wujudnya nggak jelas gitu?”
“Ya bukan gitu, kaliiii…” Emma mendelik. “Yang gue maksud tuh… hidup udah semakin menganggap uang adalah segalanya, Lan…”
“Terus?”
“Terusss… kalau orang sirik, sih, ujung-ujungnya semua diukur pake duit.”
“Hah?”
“Namanya juga orang sirik, Neeeennggg… Yang diliat pasti negatifnya aja!”

*

Emma pacaran dengan Indra, dibilang: Indra memanfaatkan posisi Emma yang sudah senior untuk membantu masa probationnya.

Sasya deket sama Farid, salah satu customer di perusahaan tempatnya bekerja, dibilang: biar Farid mendapatkan kemudahan memperoleh rate yang bagus untuk ekspor udang beku ke Amerika.

Dulu sekali, Kelana pernah pacaran dengan Bayu, anak seorang pengusaha garmen yang sukses mengekspor produk-produk garmennya ke ranah Eropa, orang bilang: Kelana adalah perempuan materialistis.

Tapi, tapi, pernah nggak, sih, terpikirkan hal yang sebaliknya?
Siapa tahu kalau..
Emma yang memanfaatkan Indra untuk menjadi supir mobilnya setiap hari?
Sasya yang memanfaatkan Farid untuk men-support kelangsungan bisnis perusahaan ekspor impor tempatnya bekerja sekarang?
Dan, Bayu? Cowok yang anak pengusaha itu, ternyata memanfaatkan Kelana, perempuan dengan tampang polos dan baik-baik, supaya dia bisa dipercaya oleh orang tuanya?
Percayalah, memang itu yang terjadi ketika Kelana berpacaran dengan Bayu, saat kuliah dulu. Bayu yang begajulan, kerap mendapatkan lampu hijau untuk pulang malam dan keluyuran, asal menyebutkan, “Pergi sama Lana, kok, Ma!”

Memang siapa yang tahu dalamnya hati seseorang? Tidak akan ada penggaris yang tepat untuk mengetahui kedalamannya, bukan?

Kalau semua hal bisa menjadi alasan seseorang berpasangan dengan orang yang lain, bukankah selalu ada kemungkinan kalau alasannya memang karena cinta?

*

Beberapa bulan berikutnya, Kelana mendengar kabar kalau Diandra patah hati lagi. Kabar ini terasa sangat eksklusif karena Diandra sendiri yang meneleponnya di suatu pagi dengan suara terisak-isak.

“Aku putus, Mbak… Aku nggak jadi kawin sama Mas Dika…”
“Lho, kok bisa sih, Di.. Bukannya kalian udah tunangan?”
“Iyaaa, tapi Mas Dika selingkuh, Mbak…”
“Astaga…”
“Mas Dika selingkuh sama temen baikku sendiri…”
“Anita?”
“He-eh, Mbak… Sama Anita gendeng itu…”
“Lhaaaa… terus?”
“Mereka mau kawin, Mbak… Si Anita ternyata udah hamil dua bulan… Anaknya Mas Dika…”
“Astaghfirullah!”
“Mbbaaakk….. aku patah hatiii…”
“Iyaaa.. Aku tahu…”
“Aku nggak rela kalau Mas Dika kawin sama Anita…”
“Jelas nggak rela, lah… Kan dia sahabatmu sendiri, masa temen makan temen, sih…”
“Bukan cuman itu, Mbaaakk…. Anita kan cewek matre… Aku takut kalau Mas Dika cuman diporotin thok…”

Dari curhat pagi-pagi itu, Kelana baru tahu kalau ternyata, selama pacaran dengan Mas Dika, tabungan Diandra berkurang sampai lima juta rupiah karena dompet Mas Dika sering ketinggalan saat mereka kencan!
Hayah!
Cowok matreeee!!!
… JELEK PULAK! Sebel!

1 comments:

hasian cinduth said...

hahaha...
jadi cowok-nya toh yang matre?

*kwkakwka...

gak bisa ngebayangin tampangnya Kang mas Dika...