Thursday, October 15, 2009

Sansak Tinju


Malam itu jarum jam sudah bergeser ke arah dua belas ketika Kelana mendengar bunyi ketukan di pintu kamarnya. Dia memang belum tidur karena masih menekuni satu buku yang belum juga habis terbaca sekalipun buku itu sudah nangkring di atas rak dan sedikit berdebu, sehingga suara ketukan yang dibarengi suara Meity itu terdengar cukup jelas sekalipun perlahan.

“Lan…. Ini Meity… Kamu masih bangun?”

Buru-buru Kelana bergerak ke pintu dan membukanya. Jarang sekali seseorang mengetuk pintu kamarnya di jam-jam segini. Nah, yang lebih mengherankan lagi adalah Meity bukanlah penghuni rumah kost yang disewa Kelana setiap bulannya, melainkan seorang teman kantor yang kubikelnya bersebelahan dengannya. Kelana sangat penasaran, kenapa Meity mengetuk pintunya jam dua belas malam dan bukannya pulang ke rumahnya sendiri?

“Meity… lo ngapain di si….” Kelana berhenti bertanya ketika melihat sosok Meity di depannya. Matanya terbelalak dan jantungnya berdebar.

“Lan… Aku… aku…” Suara Meity terbata-bata. “Aku boleh masuk?”

Tanpa berkata-kata lagi, Kelana membiarkan Meity masuk ke dalam kamarnya, menutup pintu, dan menunggu kalimat-kalimat itu keluar dari mulut Meity, seorang perempuan yang malam itu tubuhnya terlihat bergetar hebat, seolah menahan sakit yang amat sangat.

Ah, no wonder dia terlihat kesakitan.

Tubuhnya penuh lebam kebiruan, bibirnya berdarah dan pelipisnya robek.
Bukan karena naluri detektifnya sehingga Kelana mengetahui kalau sesuatu telah terjadi pada Meity, pada seorang gadis yang menangis terisak-isak di dalam kamarnya. Tapi karena memang Meity akhirnya bercerita, kalau beberapa saat yang lalu, dia bertengkar hebat dengan Hendra, calon suaminya, yang tidak hanya menghadiahi cincin pertunangan sebulan yang lalu, tapi juga menghadiahi pukulan-pukulan ala petinju di tubuh pacarnya…

*

Sasya membelalakkan matanya.

“Hah? Serius lo?”

Kelana menganggukkan kepalanya. Dia bersandar di punggung sofa sebuah kedai kopi lalu menghela nafasnya.

“Terus langsung lo bawa ke UGD, kan?”

“Pastinya.”

“Dia bilang ke Dokter kalo dia begitu karena dipukulin pacarnya?”

Kelana menggeleng. “Dia cuman bilang kalau habis jatuh dari tangga.”

“Terus, orang tuanya gimana?”

“Dia bilang, ada tugas ke luar kota.”

“Jadi dia masih ada di kost-an lo?”

“Dia udah pindah ke hotel, dekat kantor.”

“Terus, pacarnya? Pacarnya?”

“Calon suami, tepatnya,” kata Kelana.

“Ya, ya, ya,” tukas Sasya. “CALON SUAMInya, gimana?”

Kelana memandang mata Sasya dalam-dalam. “Janji jangan melotot lagi, ya? Sumpah, gue ngeri banget, soalnya.”

Sasya mengangguk. “Janji.”

Pelan-pelan, Kelana berkata, “Dia sekarang udah di hotel sama calon suaminya…”

“…”

“….as if nothing has ever happened…

Sasya tidak memenuhi janjinya untuk tidak melotot. In fact, dia malah melotot diimbuhi dengan gaya melongo sok dungu dan memandanginya tanpa berkata-kata. Ya, sama seperti reaksi Kelana ketika Meity pamit dari kost-nya dan berkata kalau dia akan menginap saja di hotel, bersama calon suami, yang sudah menunggunya di depan pagar rumah kost, persis pukul sembilan, keesokan paginya.

She was totally shocked!

Dalam pikiran Kelana hanya terlintas satu hal saja.

Is she out of her mind?”

*

Kelana sangat mengingat jelas apa yang diucapkan Meity saat mereka berada di dalam taksi menuju rumah kost, kembali dari rumah sakit terdekat. Pelipisnya yang robek sudah dijahit, demikian pula bibirnya. Tubuhnya yang lebam-lebam pun sudah diberi salep untuk mengurangi bengkak, sehingga dia sudah diperbolehkan pulang ke rumah, persis pukul empat pagi.

“Hendra memang begitu, Lan…”

“Begitu, gimana?”

“Temperamental,” tukas Meity dengan mata yang menerawang jauh.

“Jadi ini bukan yang pertama kali?”

Beberapa detik, Meity terdiam sebentar, lalu menghela nafasnya.

“Baru kali ini dia memukul aku sampai babak belur begini. Biasanya dia hanya mengucapkan kata-kata kasar lalu memaki-maki aja kalau sedang marah…”

“Astaga… dia sering begitu, Mei?” Kelana hampir tidak memercayai pendengarannya. Buat Kelana, mengucapkan kata-kata kasar dan memaki-maki seorang perempuan adalah perilaku yang sudah tidak bisa ditolerir olehnya, apalagi kalau terjadi terlalu sering, dan malah ditingkahi dengan pukulan-pukulan ala petinju yang membuat tubuh seorang calon istrinya menjadi penuh dengan lebam-lebam kebiruan.

It didn’t make any sense. AT ALL.

“Kalau Hendra lagi marah aja, pastinya…”

“Marahnya, kenapa?”

Mostly, karena cemburu…”

“Oh ya?”

“Iya, dia pencemburu berat, Lan… Dia paling marah kalau aku lagi entertain klien di café atau resto gitu… Apalagi kalau klien-nya lawan jenis…”

Well, Darling, kerjaan lo kan Sales di kantor… Lo nggak bisa milih-milih klien, kan?”

I know…”

“Emang Hendra nggak bisa ngerti?”

Meity menggeleng.

“Aku udah berusaha ngejelasin ke dia, Lan… Mereka cuman klien dan nggak mungkin aku berbuat yang macem-macem sama mereka… It’s pure business.”

“Pastinya. Terus, terus, dia masih ngamuk?”

“Hendra sering nuduh aku selingkuh… Nuduh aku nggak setia… Malah, kalau udah parah banget, dia bilang aku pelacur…”

Meity menghentikan kalimatnya lalu menangis. Air mata-nya turun deras seperti gerimis yang jatuh, menetes ke pipinya tanpa sanggup ditahannya lagi. Sungguh, Kelana tidak sampai hati melihat perempuan manis ini berurai air mata di hadapannya. She is too fragile. Dan tidak ada perempuan di manapun di atas permukaan bumi ini yang boleh mendapatkan perlakuan kasar seperti itu. Tidak oleh siapapun juga, apalagi seseorang yang seharusnya menjaga perempuan itu dengan lebih baik. For God’s sake, she’s his future wife, calon ibu buat anak-anaknya. Kalau seorang lelaki berperilaku demikian sebelum menikah, apa yang bisa terjadi kelak? Bisa-bisa, Meity akan menjadi sansak tinju untuk latihan setiap hari!

And, now what?”

“Hmmm…”

“Elo bakal ninggalin dia, kan, Mei?”

“…”

“Coba ngaca, deh. You’re not gonna like what you see, but you have to do it.

“…”

“Lelaki yang udah memukul seorang perempuan bukanlah lelaki yang pantas dijadikan suami, Mei,” kata Kelana sambil mengusap lembut punggung tangan temannya. “Lelaki yang semalam tadi bikin elo babak belur cuman karena elo terima telepon dari klien yang ngasih kabar gembira kalau dia bakal pake jasa kita untuk project berikutnya dan nggak mau terima apapun alasa yang keluar dari mulut elo… Yang udah bikin bibir dan pelipis lo robek sampai berdarah… Yang udah bikin tangan lo biru-biru…. Yang udah bikin elo nangis terus… he’s just not worth it, Mei.”

“…”

“Gue memang nggak kenal Hendra sebaik elo kenal dia,” kata Kelana. “Tapi gue cukup tau, kalau lelaki kayak Hendra itu nggak pantes dapet istri seperti elo…”

Dalam perjalanan pulang menuju rumah kost, keduanya membisu, dengan pikiran yang melayang-layang entah kemana.

*

Pukul sembilan pagi, Meity membangunkan Kelana yang masih tidur berselimut di atas ranjangnya. Mereka tiba di kost menjelang pukul setengah lima pagi. Usai sholat Subuh, Kelana memutuskan untuk tidur saja.

“Lan, gue pamit dulu, ya?”

“Lo mau kemana? Pulang?” Tanya Kelana setelah menguap beberapa kali.

“Nggak, lah, Lan. Aku mau tidur di hotel aja, daripada ngerepotin kamu terus.”

“Hey, nggak apa-apa, lagi. Atau badan lo sakit semua karena tidur di extra bed? Lo bisa tidur di ranjang, kok.. Nggak apa-apa..”

Meity tersenyum. “Nggak, Lan, but thanks a lot, ya. Gue pindah ke hotel aja.”

“Yakin?”

“He-eh.”

“Ya udah, deh, kalo gitu… You have to know that my door is always open for you, Dear…”

“Aku tau, Lan. That’s why I knocked your door, last nite…”


Kelana bangkit dari tidurnya lalu mengantarkan Meity sampai ke pintu ruang tamu.

“Eh, lo udah telepon taksi atau…”

“Umm… aku dijemput, Lan,” tukas Meity perlahan.

“Adik lo?”

Meity menggeleng.

“Hendra…”

“….”

“…dia udah nunggu di luar, sekarang.”

Kelana tidak bisa berkata-kata, selain menggenggam erat jemari Meity dan membiarkan temannya itu pergi dari rumah kost, masuk ke dalam mobil Kijang kapsul milik Hendra, tempat mereka semalam bertengkar hebat dan membuat Meity harus mampir UGD beberapa jam setelahnya.

She lost her breath.

Tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa.

It isn’t her life, but it’s Meity’s.

Meity berhak mengambil keputusan apapun.

Termasuk membiarkan tubuhnya menjadi sansak tinju seorang suami temperamental bernama Hendra….

Sesaat setelah mobil Kijang kapsul Hendra menghilang dari batas pandangnya, tanpa sadar, kedua bola mata Kelana tergenang oleh buliran air mata yang membuat pandangannya kabur…

***

Kantor, Jumat, 16 Oktober 2009, 11.27 Siang

1 comments:

Anonymous said...

saya ingat sebuah film,
judulnya Last Friend. dan OSTnya utada hikaru dengan judul prisoner of love.

mirip deh sama cerita ini, dan nontonnya sediih..

is it, the case like this, ever happened truly in our world?

--nuna.