Tuesday, October 6, 2009

It's All About The Look


“Lan, sini, deh!” teriak Sasya ketika mereka sedang window shopping di sebuah mal paling hip di tengah kota. Saat itu, dua lajang di akhir dua puluhan itu sedang pura-pura menjadi perempuan banyak duit padahal cuman ingin mencoba-coba baju-baju mahal yang nggak akan terbeli walaupun kerja banting tulang sebulan penuh. Ya, kecuali rela nggak makan, sih..


“Apaan?” Kelana langsung menoleh, melihat sosok Sasya yang dari kejauhan sudah terlihat sumringah sambil mengenakan little black dress yang bisa dipastikan harganya di atas sejuta itu. She looked gorgeous, though.

Lana berjalan mendekati sahabatnya yang senyumnya secerah senyum pegawai sehabis gajian.

“Cakep, nggak?” Sasya bertanya, tapi Kelana tahu, pertanyaan itu tidak butuh jawaban.

“Cakep!” tukas Kelana cepat.

Apa, sih, yang nggak cakep kalau dipasangkan di tubuh selangsing Sasya? Dengan kulit putih mulus, tubuh menjulang seperti peragawati, tapi memiliki lekuk tubuh yang sempurna tidak seperti Kate Moss yang ceking (disebut sempurna karena tidak ada deposit lemak yang salah posisi!), everyone would kill to have the body

“Harganya sejuta tiga ratus,” kata Sasya, sambil memerhatikan tag yang ada di bagian ujung dress yang tengah ia pakai.

“So?” Tanya Kelana karena ia mengenali kalimat Sasya barusan; dia butuh dukungan. Astagah, jangan sampai Sasya nekat beli!

“Gue cakep banget, kan, Lan, kalo pake baju ini?”

“Elo cakep pake baju apa aja, Darling…”

“Tapi baju ini keren banget…”

“Iya, dan mahal banget.”

“Worth it, lah. Lo kan tau baju ini keluaran dari mana?”

“Yang pasti bukan keluaran pasar grosir, I know that too well.”

Sasya masih mematut-matutkan tubuhnya yang memang terlihat cantik dengan balutan baju warna hitam, bertali spageti, dengan sedikit batuan unik yang tersebar di bagian lehernya.

“Gue beli aja, ya, Lan?”

“Jangan nekat, ah, Sas!” suara Kelana yang terlalu keras membuat Sasya segera melakukan aksi cukup anarkis, yaitu membungkam mulut sahabatnya dengan rangkuman jemarinya. Dengan tubuh sekurus itu, Kelana sampai heran, dari mana Sasya memiliki tenaga untuk membungkam mulutnya. Atau mungkin, perempuan bisa mendadak menjadi super woman kalau merasa terancam?

“Pokoknya gue mau beli, with or without approval,” kata Sasya setelah membiarkan Kelana megap-megap kehilangan oksigen beberapa detik. “Lagipula, gue nyiksa credit card gue sendiri, bukan punya elo, kan?”

Sasya segera masuk kembali ke dalam fitting room, melepas baju mahal itu, dan kembali mengenakan terusan kembang-kembang warna kuning cerah melambai yang tadi ia pakai. Beberapa menit kemudian, Kelana dan Sasya memulai kembali ke agenda mereka hari ini, window shopping.

Sebuah agenda yang ternodai karena kali ini, Sasya menenteng sebuah tas bertuliskan produk garmen keluaran Amerika yang telah membuatnya berhutang sejuta tiga ratus ribu…

*
Kelana membolak-balik tabloid gosip yang secara regular dia beli setiap awal pekan sambil menyesap kopi susu. Tidak ada guilty pleasure yang menyenangkan dibandingkan membaca berita-berita gosip dan meracuni tubuhnya dengan kafein. Apalagi, setelah seharian menjadi kuli di sebuah kantor, dengan boss yang selalu nggak rela melihat karyawannya menganggur.

Kolom berita tentang seorang artis cantik, berusia empat puluhan, dengan kulit kencang seperti pualam, dengan perut tipis, paha kencang, dan payudara yang berukuran fantastis. Cerita tentang tentang riwayat hidupnya dalam prosesnya melangkah menuju popularitas membuat Kelana betah membaca setiap untaian kalimat di sana. Sampai akhirnya dia melihat rangkaian foto-foto metamorfosis sang Artis, mulai dari awal karir, sampai fotonya yang menjadi cover di sebuah majalah mode.

Kelana melihat perbedaan yang cukup signikan dari foto-foto yang diambil dari rentang waktu sembilan tahun dan merasa terkaget-kaget karena menyadari, dalam sembilan tahun, seorang manusia tidak bertambah tua, tapi makin muda!

“Ya, jelas aja, lah, Lan,” kata Emma, rekan sekantor yang sering menemaninya makan siang lebih awal, dengan alasan mencari potential customer itu. Seperti kali ini, ketika mereka sedang berada di sebuah food court mal di pinggir kota, dan Kelana menceritakan soal foto artis berbibir sensual semalam. “Dia pasti operasi plastik, lah..”

“Ih, masa, sih?”

“Duh, Lan, Lan! Hari gene, operasi plastik bukan, mah, udah biasa banget, kalee…”

Emma menyebutkan beberapa nama artis; mulai dari seorang Diva yang bersuamikan mantan fotomodel sampai ke Diva yang lain, yang kini sudah berproses cerai dengan suaminya yang juga musisi.

“Jangankan artis, Beib, orang yang bukan artis pun banyak yang operasi plastik,” lanjut Emma. “Lo tau, kan, kalo cewek yang rambutnya keriting ala Barbie, yang kerjanya di lantai sembilan, yang biasa pake baju ketat dan payudaranya bisa tumpah semua itu?”

Kelana mengangguk. Setiap pagi, Kelana memang berebut lift dengan cewek seksi yang membuat semua mata lelaki mendadak menjadi juling seketika.

“Si Barbie?”

“Iya, si Barbie itu.”

“Kenapa? Operasi plastik juga?”

“Pastinya!”

“Lo tau dari mana?”

“Waktu lunch bareng Amanda, temen sekantornya. Pas gue tanya soal Barbie, dia langsung bilang kalau Barbie itu produknya dokter bedah plastik di Jakarta.”

“Heh, serius, lo? Amanda tau dari mana?”

Emma tersenyum. “Jelas tau, lah… Kan Amanda juga sesama pasien…”

Kelana cuman melongo.

*

Berita tentang Barbie yang memperoleh kesempurnaan dengan operasi plastik, membuat Kelana menjadi perempuan yang super penasaran. Aih, jangan-jangan si Eneng cantik yang hidungnya tinggi itu adalah hasil siksaan tajamnya pisau bedah. Atau, tubuh langsing Judith, peragawati lokal yang kebetulan adalah klien tetapnya, adalah hasil dari operasi juga. Eh, atau mungkin malah kulit putih Meylinda yang selama ini disangkanya alami itu ternyata adalah suntikan vitamin C yang sampai berkali-kali?

Kelana tidak habis pikir, kenapa perempuan harus melakukan operasi sedemikian rupa. Hanya demi
kecantikan, kemolekan tubuh, seorang perempuan rela merogoh koceknya dalam-dalam dan merelakan tubuhnya menjadi bahan eksperimen seorang dokter Ahli Bedah kecantikan.

Biaya implant payudara tidaklah murah. Meninggikan hidung, jelas tidak sejuta dua juta. Suntikan vitamin C saja bisa ratusan ribu sekali suntik. Sedot lemak? Tidak bisa cuman sekali! Kalau Kelana menggunakan kalkulator untuk menghitung semua biaya yang bisa dikeluarkan , jangan-jangan kalkulatornya menyerah!

Why women really care about the look, anyway?

Tubuh yang langsing; terserah deh, mau berasal dari mana. Olahraga, kek. Fitness sampai jungkir balik, kek. Low carb diet, kek. Sedot sana sedot sini, kek. Iris sana sini, tambah sana sini… Pokoknya langsing!
Rambut; dikeriting, dilurusin, dikeriting lagi, dilurusin lagi, dipanjangin, dipotong, ditambahin..
Baju-baju yang keren…. Biar ngutang yang penting trendy!

It’s all about the look dan itu bikin Kelana nggak habis pikir, kenapa ada makhluk sesamanya yang melakukan segala macam daya upaya cuman untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain kalau mereka adalah makhluk yang cantik. Kenapa nggak bersyukur aja apa adanya? Gendut, ya gendut. Pesek ya terima aja. Nggak usah ngotot punya baju keren kalau memang nggak mampu. Kulit hitam, bukannya eksotis? Dan… sangat Indonesia!

Saat sedang melamun itulah, mendadak ponselnya bergetar. Di layarnya, tertulis nama Sasya Bawel sehingga dengan segera Kelana mengangkatnya.

“Lana…”

“Lan, elo di mana?”

“Kost-an. Kenapa?”

“Gue jemput, ya?”

“Kemana?”

“Ada acara gala dinner di Shangri-La. Lo mau ikut, kan?”

“Ummm….”

“Ayolah, Lan, temenin gue…”

“Ummm…”

“Please…?”

“Ummm…”

“Udah, pokoknya sejam lagi taksi gue nyampe di depan idung lo. Nggak pake lelet, ya?”

Usai menutup telepon, Kelana segera berhambur ke kamar dan berdandan. Mulai memoles wajahnya dengan pelembab, alas bedak, bedak tabur, bedak padat. Melukis alis. Mewarnai kelopak mata. Menyapu pipi kiri dan kanan dengan sapuan blush on warna pink pucat. Memakai lipstick warna nude yang memberikan efek basah. Dan terakhir, menebalkan bulu mata dengan mascara.

Kelar berdandan, Kelana menata rambutnya ala Audrey Hepburn. Klasik, but chic. Ini adalah gaya rambut darurat karena ia belum keramas sejak kemarin sore.

Selesai dengan rambut, dia beralih ke lemari. Mencari gaun warna hitam, berpotongan leher rendah, dengan lengan sesikut, yang selama ini selalu berhasil membuatnya terlihat langsing. Untuk melengkapi penampilannya, dia memakai stiletto yang sering membuatnya salah urat kalau terlalu lama dipakai. Well, kalau bisa membuatnya cantik, kenapa tidak?

Saat mematut-matutkan tubuhnya di depan cermin, mendadak jantung Kelana berdebar lebih kencang karena ia teringat sesuatu.

“Apa bedanya gue sama perempuan-perempuan yang membeli baju-baju mahal demi penampilan? Apa bedanya gue sama perempuan-perempuan yang hobi operasi plastik cuman supaya dibilang cantik?”

Karena yang Kelana lihat di dalam cermin, ia melihat seorang perempuan yang berusaha sekuat tenaga untuk terlihat cantik habis-habisan hanya demi mendatangi sebuah undangan makan malam di sebuah hotel berbintang lima.

Dan gadis di dalam cermin itu berpikir, “Kalau saja gue sekurus Sasya dan punya uang banyak seperti si Barbie buat operasi plastik, mungkin gue nggak perlu seheboh ini menahan nafas supaya perut gue selalu rata…”

Taksi yang ditumpangi Sasya datang persis sejam kemudian,
Tepat ketika Kelana usai melilitkan stagen di perutnya yang memiliki banyak deposit lemak, di tempat-tempat yang salah… sampai bedaknya hampir luntur! Damn!

0 comments: