Tuesday, October 13, 2009

Segelas Vodka Martini vs Semangkok Bakso


Pesta homecoming Maia berlangsung sangat meriah di VIP room sebuah kafe terkenal di salah satu sudut kota Surabaya. Maia adalah teman SMA Sasya yang melanjutkan kuliah di Los Angeles, mengambil jurusan art and movies, something. Sejak kuliah di Amerika, hampir sepuluh tahun yang lalu, Maia hanya beberapa kali pulang kampung. Paling hanya bisa dihitung dengan jari tangannya, itupun mungkin hanya sebelah tangannya saja. Maklum, tiket pesawat untuk pulang kampung lantas kembali lagi untuk menempuh pendidikan jelas sangatlah mahal. Maia cukup pintar untuk memanfaatkan waktu liburannya dengan mencari pekerjaan part time, daripada harus menguras koceknya. Toh, teknologi sudah sedikit banyak menjembatani kerinduan Maia pada Tante Diana, ibunya yang masih modis dan single parent itu. Jadi, tidak pulang kampung, pun, tidak apa-apa, kan?

Tapi, setelah sepuluh tahun berada di luar negeri, rupanya Maia harus takhluk dengan rasa rindunya pada kampung halaman. Pada rasa daging rendang di rumah makan Padang di pinggir jalan, pada rasa pecel Madiun berikut dengan peyeknya, pada harum bau rawon yang sudah 'menginap' satu hari satu malam, dan tentu saja, pada harum keringat Tante Diana saat mereka masih saling memeluk di setiap Maia membutuhkan pelukannya.

She finally missed her hometown, dan memutuskan untuk berlibur ke Indonesia, tanpa peduli lagi dengan rekening tabungannya yang menjerit.

Okay, memang rekening-nya di Los Angeles sana sedang menjerit, tapi setelah dia sampai di Indonesia lalu menukarnya dengan uang Rupiah, mendadak Maia menjadi seorang perempuan kalangan jetset yang bisa menraktir beberapa teman perempuannya, di sebuah VIP room, di kafe paling cihui di Surabaya.

Ya. Homecoming party, di mana Sasya dan Kelana sedang menyisip vodka martini dan whisky cola mereka.

"Eh, tambah aja minumannya, Sas," kata Maia. "Keep them coming..."

Sasya tersenyum. "Jatah minum alkohol cuman segelas tiap hari, Mai. Thank you, deh..."

"Ah... jarang-jarang lho, gue baik hati begini..." Maia mengedipkan matanya. "Dan jarang-jarang juga gue pulang kampung, kaaaannn... Ayo, dooonggg... Make me happy..."

Sasya cuman tersenyum lalu berkata, "Kalo gitu, hari ini, gue bikin perkecualian, deh, Mai!"

"Nah, that's my girl..." Maia ikut tersenyum. "Lana... Elo juga jangan sungkan-sungkan, ya... This is open bar... Have whatever you want, Darling..."

Kelana mengembangkan senyumnya sambil menggumamkan sesuatu di dalam hatinya, "Ada aer galonan nggak, sih, Mai? Apa teh botol aja, gitu?"

Karena sungguh, Kelana bukan penikmat alkohol seperti Sasya. Dia cuman penikmat latte dan air putih dingin. Alkohol, buat Kelana, adalah larutan untuk membersihkan luka, bukan untuk dikonsumsi dan mengotori ususnya. Kalau malam itu tangannya senantiasa terlihat menggenggam whisky cola, tentu saja she was just being polite. Ya, dia cuman ingin terlihat mingle saja dengan lima belas perempuan lain yang asyik ngobrol cekikikan dengan gelas-gelas bertungkai panjang yang berisikan larutan alkohol di tangan-tangan mereka. Larutan alkohol yang terus-menerus mengisi gelas-gelas mereka sampai pukul tiga pagi...

*

Sasya terbangun dengan kepala pusing. Hang over. Semalam tadi, Sasya terlalu mabuk untuk membuka kunci kamar kost-nya, sehingga Kelana memutuskan untuk membawa pulang sahabatnya itu dan membiarkan Sasya tidur di ranjangnya, sementara Kelana tidur dengan kasur lipat.

Harum kopi terendus di lubang hidung Sasya dan membuat gadis itu berusaha mengumpulkan konsentrasinya.

"Masih pusing, Sas?" tanya Kelana.

Sasya memicingkan matanya. "Sedikit," tukasnya.

"Minum kopi dulu, gih. Katanya bisa bikin ngilangin pusing karena alkohol..."

Sasya meraih cangkir berisi kopi yang diangsurkan Kelana padanya. "Thanks, Lan. You're the best, deh. Entah apa jadinya kalo kemarin elo nggak mau ikut gue..."

Kelana tersenyum. "Pasti sekarang elo masih tiduran di lantai kafe, bareng sama Maia dan temen-temennya..."

Pukul satu pagi, Kelana memutuskan untuk memaksa pulang. Sekalipun weekend dan tidak perlu repot-repot bangun pagi besoknya, tapi tetap saja dia tidak merasa nyaman harus berada di sebuah kafe yang penuh dengan asap rokok dan bau alkohol di mana-mana. Bukannya Kelana sok alim atau bagaimana, tapi dia memang alergi dengan asap rokok dan alkohol bukan minuman favoritnya. Apalagi ditambah dengan kondisi Sasya yang sudah teler dan mulai menceracau nggak jelas. Kelana harus segera pulang sebelum kaki-kaki Sasya sudah tidak kuat lagi menopang tubuhnya sendiri lalu minta digendong ke kost!

"Emang bener yang dibilang orang, ya, Lan?"

"Apa?"

"Kalo elo pingin mabuk, elo musti ajak, paling nggak satu orang yang nggak doyan minum alkohol... Supaya ada yang jadi supir atau ngegendong sampai rumah..." kata Sasya sambil tertawa.

"Heee.. jadi alesan elo ngajak gue ke pestanya Maia tuh cuman karena itu, yaaa???? Gebleeeegg..." Kelana pura-pura cemberut.

"Haha... nggak gitu juga, lah, Darliiinngggg," tukas Sasya. "Elo kan my significant other, jadi musti ngikut kemanapun gue pergi..."

"Dan entah kenapa, gue nggak bangga jadi significant other lo, Sas..."

"Barusan gue juga khilaf tuh ngomongnya... Mungkin pengaruh alkoholnya masih nyisa di kepala gue, kali, ya... Lagian, gue ama elo kan beda banget... Elo gendutan, gue langsing. Elo jelek, gue cakep banget. Elo polos banget sama cowok, gue penakhluk laki-laki. Elo..."

Buru-buru Kelana mencubit pipi Sasya dan tidak peduli dengan sahabatnya yang kemudian menjerit-jerit histeris karena kesakitan.

Bodo!

*

Dua weekend berikutnya, sebuah ajakan hang out mampir di ponsel Sasya.

Sas, ntar malem dateng, yuk? Gue mo balik ke LA, nih. Kita hang out di Tavern. Ajak temen lo juga, ya?
From : Maia

"Temenin gue lagi, ya, Laaannnn..." beberapa menit setelah mengetahui pesan singkat di ponselnya, Sasya segera menelepon Kelana.

"Kemana lagi, sekarang?"

"Tavern."

"Jam berapa?"

"Emang ngaruh?"

"Jam makan atau jam dugem?"

"Jam sepuluh..."

"Jam dugem tuh."

"Terus, ngaruh buat elo, nggak? Elo tetep ikut, kan?"

"Gue bisa pass nggak, sih?"

"Kenapaaaaaaaa????"

"Malesssss..."

"Ayo, dong, Lan.. Plis??"

"Mmm... but in one condition."

"Apaan?"

"You have to stay sober the whole time... gimana?"

"..."

"Mau, nggak??????"

"Ummm...."

"Call me when you made up your mind, yaaaa..."

Kelana menutup telepon. Meninggalkan Sasya yang terbengong-bengong di ujung telepon satunya.

*

Senin siang, Kelana makan siang di sebuah warung bakso di dekat kantor, berdua dengan Emma yang kali ini memilih makan siang dengan kelana karena Indra sedang dikejar deadline. Semua rumah makan di daerah perkantoran pada jam-jam makan siang jelas tidak akan pernah sepi pengunjung, sehingga Kelana cukup kegerahan saat menikmati semangkok baksonya yang pedas.

"Jadi Sasya nekat dateng sendiri?"

Kelana mengangguk. "Demi bergelas-gelas vodka martini gratisan, yaaa... dia nekat dateng sendiri," katanya sambil berkali-kali mengusap butir-butir keringat yang menghiasi dahinya.

"Segitunya, deh, temen lo itu..."

"Itulah. SEGITUNYA. Padahal, apa sih enaknya Vodka Martini? Atau Whisky Cola? Atau.. apa namanya, Tequila?" Kelana menyendok sesuap lagi potongan daging bakso dengan kuahnya yang sangat, sangat pedas. Tadi dia menambahkan hampir tujuh sendok kecil sambal ke dalam kuah baksonya. No wonder! "Eh, tapi elo minum alkohol, nggak, sih, Em?"

"Gue? Um... occasionally, yeah... Elo juga, kan? Kalau entertain klien, sesekali kita musti minum juga, kan?"

"Iya, sih, tapi kalau boleh milih, gue bakal order es cendol daripada alkohol," kata Kelana, sambil masih menyuapkan potongan baksonya ke dalam mulutnya yang sudah terasa terbakar oleh sambal, tapi tidak membuatnya kapok untuk terus-menerus menjejali mulutnya dengan bakso yang pedas itu. "Es cendol kan seger-seger gimanaaaa gitu... Lha, kalau alkohol? Pait, Bos!"

Emma cuman tersenyum-senyum sambil terus menikmati baksonya.

"Lagian, sampai sekarang gue heran, kenapa kok ya adaaaaaaaa gitu lho, orang-orang yang hobi banget minum alkohol? Udah tau rasanya nggak banget... Udah tau ntar bikin mabuk... pake muntah segala, lah... Terus, terus, udah tau ntar kalo hang over bisa bikin paginya berantakan.... Tapi, teteeeeuuupppp aja nekat minum alkohol. Uh..."

"Kenapa lo musti heran, sih, Lan?"

"Ya, heran, lah..."

"Kalo gue bilang gue juga heran sama elo, gimana?"

"Lho, kok? Kenapa lo heran sama gue, sih, Em???" tanya Kelana nggak ngerti.

Emma tersenyum. "Coba elo cari cermin dan liat wajah elo sekarang."

Kelana mengernyitkan dahinya, heran.

"Elo bakal ngeliat wajah perempuan yang nggak keliatan cantik-cantiknya sama sekali... Yang berkeringat segede-gede biji jagung... Yang bibirnya merah, memble, dan kadang megap-megap kayak ikan mas koki di dalam akuarium... karena kepedesan..." kata Emma.

Kelana masih terdiam.

"...dan perempuan berwajah acak-acakan itu masih nekat menyendokkan sambal terus menerus ke dalam kuah baksonya, padahal biasanya, sejam kemudian, mengeluh perut sakit, lah... usus kebelit, lah... asam lambung naik, lah..."

Emma masih terus mencerocos soal bakso pedas yang dikonsumsi Kelana, sementara gadis penikmat bakso pedas itu hanya terdiam sambil membiarkan bulir-bulir keringat menetes dari dahinya...

*

Sejam berikutnya, perut Kelana sakit.
Alih-alih curhat pada Emma, dia memilih untuk mengunyah obat maag yang selalu berada di dalam tasnya.

Baru siang itu, Kelana menyadari sesuatu.

Segelas Vodka Martini ternyata sebanding dengan Semangkok Bakso pedas di dekat kantornya.
It's something that someone will eager for more....
Sekalipun ujung-ujungnya, seseorang bakal mabuk.
Dan seseorang yang lain bakal bolak-balik ke kamar mandi untuk buang air besar.... :)


***
Kantor, Rabu, 14 Oktober 2009, 3:26 sore

2 comments:

Riris Ernaeni said...

Lana, aku katro deh masa setua ini baru merasakan satu jenis minuman alkohol yaitu : "Anggur untuk ibu bersalin"

Kelana said...

Hehehe..
Kelana belum pernah ngerasain Anggur untuk Ibu Bersalin, nih.
Jadi... katro juga, lah! hehe...